Pelaku

2.8K 103 11
                                    

"Jadi, Om Bima dan Luna yang udah rusak mobil Papa, sampai bikin mereka kecelakaan dan meninggal?!"

Anggukan yang di dapat atas pertanyaannya itu membuat pemuda yang masih berseragam SMA tersebut menggeram rendah. Tangannya terlihat mengepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mulai mengeras dengan sorot matanya yang menajam namun sedikit berkaca. Ada perasaan marah, sedih dan kecewa disana.

Alya mengusap lengan Raga berusaha meredam emosi suaminya. "Ayah mau langsung lapor ke polisi?"

Arya mengangguk lalu membuka laci meja kerjanya dan menyimpan flashdisk berisi rekaman CCTV aksi kejahatan Bima. "Ini akan jadi barang bukti atas perbuatan mereka." Bola matanya bergerak menatap Raga yang masih memasang wajah tak bersahabat.

"Nak, masih ada sesuatu yang harus dilakukan."

Raga mendongkak menatap ayah mertuanya yang kini sudah beranjak dan berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah amplop coklat terlihat dikeluarkannya.

"Apa ini?" Raga mengernyit bingung saat ayahnya memberikan amplop tersebut. Ia membolak-balikkan amplop dengan logo yang sudah terbuka sebelumnya itu.

"Baca dan kamu akan tau isinya." Arya mendudukkan tubuhnya di sofa panjang. Tangannya terulur untuk mengambil teh hangat yang dibuatkan istrinya tadi.

Raga mengangguk samar, tangannya membuka isi amplop tersebut dan mulai membacanya dengan tenang. "Pengukuhan Presdir Bima Wirantara?" bisik Raga.

Arya mengangguk, "Ayah yakin Bima mungkin mengajukan nilai fantastis pada menteri perpajakan dan perizinan atas usulan yang sama sekali tidak pernah ditangguhkan."

Raga meremas kuat surat di tangannya. Ini akibat terlalu menunda-nunda dan mereka sudah sejauh itu untuk merebut perusahaan mendiang papanya. "Sekarang rencana Ayah apa?" tanya Raga.

"Ayah akan ambil kembali data perusahaan Angkasa yang sudah dicuri Bima." Pria paruh baya itu menyeruput teh hangatnya tenang sebelum kembali bicara. "Setelahnya biarkan acara pengukuhan itu terjadi."

"Kenapa gitu. Harusnya digagalkan, kan?" Pertanyaan Alya itu mewakili isi hati Raga yang bergelut tidak mengerti.

"Kita gagalkan saat acara." Arya melirik putri bungsunya kemudian berakhir menatap Raga, "Masalah ini serahkan sama Ayah. Kamu jangan khawatir, perusahaan Angkasa pasti akan baik-baik saja."

Raga hanya mengangguk. Semoga segelintir rencana ayahnya berjalan lancar. Perasaan kesal kembali menyambangi hatinya mengingat perlakuan Bima. Sialan, saat ini ia benar-benar ingin meninju si tua bangka itu.

Manik hitamnya bergulir menatap Alya yang terus mengusap lengannya. Ia hampir lupa rencana untuk membawa istrinya itu periksa kandungan. Sehabis pulang sekolah tadi ayahnya menelpon dan alhasil mereka disini sekarang. Ngomong-ngomong soal kandungan, kabar bahagia itu belum mereka sampaikan.

"Gimana ngobrolnya, udah selesai?" Sindi datang dengan nampan di kedua tangannya yang berisi cemilan hangat. Ia lantas mendudukkan tubuhnya di sisi Arya. "Bunda baru aja bikin ini."

"Sebenernya masih ada yang mau kita obrolin juga, Bun." Alya menatap Sindi dan Arya bergantian."Ini soal aku."

"Apa?" Sindi menautkan alisnya penasaran.

Alya sempat melirik Raga sebelum kembali bicara dan mendapati anggukan dari pria itu. "Aku hamil."

"Hamil? Serius?"

Alya mengangguk dengan senyumnya yang mengembang. Hatinya menghangat menangkap binar bahagia bercampur tak percaya dari kedua orangtuanya.

"Ya, ampun, suamiku, sebentar lagi kita akan punya cucu," ujar Sindi antusias. Ibu dua anak itu beranjak, lalu berpindah duduk di sisi Alya. "Berapa usia kandungannya?"

ALRAGA [Perjodohan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang