Helaan napas lega keluar dari bibir Raga setelah mendengar proses kuret yang dilakukan pada tubuh Alya berjalan lancar. Dan disinilah ia sekarang, duduk tenang menunggu istrinya itu sadar. Tangannya tak berhenti terus mengusap punggung tangan Alya. Ia berjanji setelah ini akan benar-benar menjaganya, sedikit pun tak akan membiarkan gadis itu terluka.
"Raga!"
Tepukan pelan pada pundaknya membuat Raga menoleh. Ah, ia bahkan tidak menyadari keberadaan ibu mertuanya disini. "Bunda beli makanan buat kamu, makan dulu selagi hangat. Bunda juga beli kopi buat kamu." Sindi meletakkan paper bag coklat di atas nakas.
Ibu dua anak itu sengaja membeli kopi berharap bisa sekedar menenangkan Raga yang dari tadi terus mondar mandir tak tenang. Menantunya itu benar-benar terlihat berantakan sekarang.
"Istirahat dulu, Alya biar bunda yang jaga."
Raga mengangguk samar. Ia bersyukur memiliki Bunda Sindi sebagai mertuanya. Dugaannya yang akan dimarahi dan mendapat tatapan kekecewaan dari mertuanya itu menguap begitu saja. Ia malah lebih sering dikuatkan sekarang. "Bunda juga istirahat, ini udah sore."
Sindi tersenyum simpul, wanita itu kemudian berjalan anggun mendekati bangsal tempat Alya berbaring. Tangannya terulur mengusap sayang surai hitam putrinya yang nampak lusuh. Sindi berharap Alya bisa menerima semua kenyataan ini nanti. Irisnya bergulir menatap menantunya serius. "Raga, kamu jaga Alya baik-baik ya. Kuatin dia, Nak."
Raga mengangguk pasti, tanpa disuruh pun ia akan melakukan itu. Perasaannya memang hancur sekarang, tapi Alya akan jauh lebih hancur. "Bunda tenang, itu sudah kewajiban Raga sebagai suami." Diliriknya Alya yang masih setia menutup mata. "Tapi sekali lagi Raga minta maaf, karna kesalahan Raga Alya jadi seperti ini."
Wanita paruh baya itu menatap penuh arti menantunya, ia menggeleng samar tidak membenarkan perkataan Raga. "Ini kecelakaan dan takdir. Kamu jangan terlalu menyalahkan diri sendiri." Diusapnya pelan pundak itu berusaha sekedar menguatkannya. "Bunda pulang dulu, nanti kesini lagi sama Ayah."
Pemuda itu beranjak berniat mengantar mertuanya pulang. "Raga antar, Bun."
"Gak usah, Bunda bisa sendiri. Kamu disini aja, kasian nanti Alya bangun gak ada siapa-siapa."
"Ya udah kalau gitu Raga antar sampe depan."
Sindi menggeleng samar melihat Raga yang mulai berjalan lebih dulu melewatinya. Sebelum benar-benar keluar ibu dua anak itu berjalan mendekati putrinya dan mengecup kening itu lama. "Cepet bangun, sayang. Raga nungguin kamu."
Setelah beberapa menit mengantar mertuanya sampai hingga halaman rumah sakit, Raga segera kembali ke ruangan Alya. Ia meraih bingkisan di atas nakas yang katanya makanan. Seharian di rumah sakit membuatnya mengabaikan suara perutnya yang terus berbunyi. Pemuda itu mendudukkan bokongnya di sofa dan menikmati makan siangnya yang tertunda. Sesekali jelaganya melirik Alya memastikan kondisinya.
***
Kelopak mata itu perlahan mulai terbuka dan mengerjap beberapa kali mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk. Bau obat-obatan khas rumah sakit seketika menyeruak menembus saraf pembauannya dan itu sedikit membuat kepalanya pusing.
Bibir pucatnya meringis pelan merasakan nyeri disekitar tubuh bagian bawahnya. Alya tidak mengerti apa yang terjadi, ia menggerakkan iris coklatnya kesamping dan menangkap presensi suaminya yang tengah makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALRAGA [Perjodohan]
Ficção AdolescentePerjodohan dadakan kedua orangtuanya membuat Raga ngebet ingin langsung dinikahkan, meskipun masih berstatus seorang pelajar. Kehangatan selalu Raga rasakan setelah menikah dengan Alya, tapi kehangatan rumah tangganya ternyata tak berlangsung lama...