bab 15

48 11 0
                                        

- S E N A N D I K A -



°°°°

Seorang pria paruh baya berjalan dengan pincang, entah karena cacat fisik atau akibat pukulan yang dideritanya. Pakaiannya tampak kurang rapi.

Mengenakan pakaian berupa kaos oblong polos berwarna putih kekuningan dan celana Levi's, ia membawa sebuah tongkat. Tatanan rambutnya tidak teratur. Ia berhenti di bawah jembatan dan menempatkan bokongnya di pinggir jalan. Dia menatap para anak dan orang dewasa yang sedang menikmati makanan dengan lahap. Dia menelan ludahnya dengan perasaan yang berat.

Dia berjalan mendekat ke warung itu dengan harapan untuk mendapatkan makanan, namun pemilik warung mengusirnya dengan alasan yang menyakitkan hatinya, bahwa aroma busuknya membuat pelanggannya mual. Dia merasa sangat terhina dan tersinggung dengan perlakuan itu.

Syifa berdiri di tempat, memandangi papan nama warung itu dari kejauhan. 'Siapa orang itu?' pikirnya.Syifa merasakan ada sesuatu yang familiar dari pria paruh baya itu, namun ia memutuskan untuk mengabaikannya dan melanjutkan perjalanannya dengan mengayuh sepedanya.

“Mabuk banar lay bamainan kada jadi hasil!” Sindir Munah dengan tatapan horor yang menyeramkan saat ia menyambut kedatangan Syifa di rumahnya.

Syifa menundukkan kepalanya dan diam tidak menghiraukan ucapan Munah. Dia berjalan menuju kamarnya dan mengunci pintunya. Ketukan pada pintu membuat Syifa mengubah rencananya untuk beristirahat.

(Mabuk banar lay bamainan kada jadi hasil: saking serunya nggak inget waktu lagi ya Puas main nya, main yang nggak bermanfaat)

FYI: itu bahasa Banjar, kalimantan selatan yang sering digunakan dalam sehari-hari bukan formal.

Seorang bocah lebih muda empat tahun dari Syifa itu tersenyum menampilkan deretan gigi nya. Dia membawa tablet di genggaman nya dan ada beberapa buku beserta pena.

Syifa mempersilahkan masuk bocah itu tersenyum sumringah. “Oh ya, besok tante pulang?” Mengingat jika acara yang diselenggarakan telah selesai.

Bocah itu sedikit murung suaranya melemah 'Aku nggak ada temen lagi?' pikirnya Karena selama ini hanya tantenya Syifa lah yang menjadi sahabat sekaligus Ruang curhatannya.

“Kan nanti bisa kesini lagi toh?” Ucap Syifa Membelai lembut wajah keponakannya. Dia mendengus lucu melihat reaksi keponakannya tengah merajuk lucu.

“Terserah sih,” Ucap lilac keponakannya, bocah itu bersedekap dada berpura-pura merajuk. Syifa tidak memperdulikanya memilih Beristirahat tidak mendapatkan tanggapan reaksi dari Syifa Lilac memilih melanjutkan belajarnya.


- E N N A R A -


Langkahnya kian melambat seiring dengan pekarangan rumahnya nampak mendekat. Menatap penuh sarat akan kkekecewaan pada Ibunya yang kesusahan menenteng koper dan memasukkan ke bagasi mobil.

Menyalakan mesin mobil Dia meninggalkan area itu untuk selama-lamanya. Meninggalkan dirinya? Dia mengulum senyum pahit berjalan lemah menuju pintu.

Bukankah dia terbiasa hidup penuh dengan kekosongan dan kehampaan? Lalu apa yang sekarang dia tangisi?

Menyapu pandangannya pada seluruh area bangunan rumah seluas satu hektar itu. Dinding-dinding yang dipenuhi dengan hiasan megah, hordeng mewah selalu bersilih ganti setiap minggunya, Rasanya tidak ada bedanya dengan hutan kosong sunyi tidak ada siapapun.

Rumah ini memang berfasilitas lengkap, dia tidak kekurangan apapun kehidupannya di jamin hingga generasi selanjutnya, namun yang tidak akan pernah bisa dia miliki adalah kasih sayang kedua orang tuanya.

Bukankah Syifa juga seperti ini?  Bedanya dia hilang ingatan. Dia hidup dengan kehidupan barunya sedang dirinya? Dia tidak kehilangan ingatan.

Terkadang dia iri terhadap kehidupan Syifa namun dia tahu jika berada di posisi Syifa dia akan kalah dengan keadaan dan memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Ayahnya menuruni tangga dengan anggun berhenti tepat di hadapkannya namun enggan menatap wajahnya seolah-olah dia manusia paling kotor.

Merasa terhina sekaligus kecewa terhadap apa yang ayahnya lakukan. Namun jika dia juga sama keras kepala kapan ayahnya akan luluh?

“Ardilan mau ke kamar.” Ucapnya Berlalu begitu saja meninggalkan Ayahnya Putra seorang diri berdiri bergeming di tempat.


Interupsi dari pria itu menghentikan langkahnya memberitahukan bahwa di masa depan Ardilan yang mengambil alih seluruh pekerjaan nya. Namun ahli waris tetaplah Putra kesayangannya.

Mengepalkan tangannya kuat Ardilan mempercepat langkahnya hingga terdengar suara keras dari atas. Ayahnya menatap pintu kamar Ardilan yang tertutup.

Anak itu selalu kesulitan mengontrol emosinya sendiri berbeda dengan putra kesayangannya. Anak itu cenderung tenang dan penurut sangat berbeda dengan Ardilan.

Dia berjalan sebentar ke depan teras sudah lama sejak tahun itu rumah ini selalu diwarnai dengan keributan dan pertengkaran hebat setiap harinya.

Menghirup lambat aroma dari hijaunya taman yang selalu di rapih kan setiap harinya. “Kapan kamu sadar Putri? Dia lebih membutuhkan kehadiran mu.” Gumamnya.

Gemericik air menemani damainya suasananya, daun bergoyang melambai seiringnya angin menyapu mengenai kulitnya. Bunga berguguran tetesan air mengenai tanah, inikah kedamaian?

Mendongakkan kepala memejamkan matanya meresapi suasana tenang yang disukainya tanpa ada keributan tanpa ada perselisihan tanpa ada emosi.

“Tuan ... Raden Ardilan sejak kemarin belum mangan nggeh, makanan yang dibuatkan tidak pernah di sentuh.” Ucap pembantu itu datang secara tiba-tiba sembari menundukkan kepalanya takut.

Raut wajahnya gusar penuh kegelisahan dan ketakutan. “Pergilah.”Ucap Putra.

Walaupun tidak sepenuhnya memahami maksud Putra, pembantu itu mengundurkan diri secara terhormat Bagaimana raden? Raden belum memasukkan apapun kedalam perutnya sejak kemarin.

Raden seolah-olah tidak memiliki semangat hidup, dia benar-benar kasihan dengan anak majikannya itu. Menjadi pembantu selama 20 tahun keluarga adhitama dia tahu betul seluk-beluknya dan apa yang menjadi kebiasaan anggota keluarga.

Namun kali ini dia tidak bisa memahami penyebab perselisihan antara mantan istri majikannya dan majikannya Putra karena selama ini pasutri itu selalu akrab dan harmonis lantas apa penyebab retakan itu? Apa tuan masih tidak bisa menerima kalau sebenarnya Tuan Muda Raven Azreen adhitama telah meninggal?

Ataukah ada sesuatu yang tidak dia ketahui dari keluarga ini? Memang benar jika dari hari pertama bekerja disini dia menemukan banyak kejanggalan dalam keluarga itu. Terlebih pada Tuan Muda pertama.

Di keluarga ini Raden Selalu diakhirkan
Terkesan di abaikan dan tidak di anggap pernah ada. Hanya nyonya Putri yang selalu memasang badannya melindungi Ardilan dari caci maki Putra.

(Fyi: Raden adalah sebutan untuk Putra terakhir dari keturunan adhitama.. Lebih mudahnya Putra bungsu)

Raden yang berarti pangeran. Pangeran terakhir untuk adhitama.

- S E N A N D I K A -







TBC.

Senandika [on Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang