part 3

3.1K 206 9
                                    

Peat menatap kosong dinding bercat putih gading di depan ku, berharap semua hal yang terjadi kemarin hanyalah mimpi. Peat masih menjalin kasih dengan pacar ku, Off. Ayah dan ibu yang marah karna dirinya memacari, atau Doppy yang akan terus menggonggong di depan kamarku ketika Peat tak kunjung bangun. Namun, sebuah lengan kekar yang melingkar di pinggang Peat membuat harapan itu buyar seketika, napasnya pun terasa hangat di antara potongan lehernya. Dan jangan lupakan tangan nakalnya yang masuk kedalam baju Peat yang entah sejak kapan sudah berubah menjadi baju tidur Pororo berwarna biru tua bercampur putih. Sialan, kepala nya masih terasa pusing dan lidahnya seakan mati rasa karena menelan darah yang tidak bisa dipastikan itu steril atau tidak, oh ayolah hanya pecandu narkoba yang meminum darahnya ketika tidak mampu membeli obat-obatan terlarang itu. Ah ... Tapi terasa tak mungkin sekali hal itu pemilik rumah semegah ini tak mungkin tidak mampu membeli sekantung ganja bukan? Auwhh lupakan pikiran gila ini dan kembali fokus pada tangan gila yang bergerilya di perut Peat yang sedikit buncit itu, mengelusnya dan sesekali meremas-remas kecil perutnya. Itu geli sekali.

Perlahan Peat membalikkan tubuhnya menatap wajahnya yang berubah 180 derajat saat dia terbangun nanti, dingin, sinis dan tak tersentuh. Lihatlah sekarang, dia seperti anak-anak tidak berdosa dengan wajahnya yang terlihat polos itu. Tanpa perintah tangan Peat menaruh tangannya di puncak kepala pria gila itu dan menyentuh rambutnya perlahan, lalu turun ke dahinya, hidung dan terakhir-

"Kau tidak boleh mengambil kesempatan disaat lawanmu tidak sadar, kelinci kecil," ujarnya tanpa membuka mata, pria itu mengeratkan pelukannya membuat tubuh mungil Peat semakin merapat padanya.

Peat tidak menjawab sibuk mencoba mengendurkan pelukan itu, sesaat kemudian pria di depannya membuka mata. Menampilkan netra gelapnya yang segelap malam. Peat mengerjakan matanya beberapa kali, dia belum pikun kan? Semalam ia ingat betul mata pria itu berwarna merah darah, tapi sekarang kenapa matanya berwarna hitam.

"Sibuk menganggumi ku, hmmm?" tanya pria itu tertawa pelan. Ia mengusap-usap kan ujung hidungnya ke hidung mungil Peat.

Peat tanpa sadar menganggukkan kepalanya, dia tidak bisa menyangkal pria itu memang tampan sekali, seperti aktor-aktor kenamaan.
"Hahaha ... Kau sungguh menggemaskan," pria itu kembali tertawa dan sibuk menciumi pipi Peat gemas.

"Tunggu ... Tuan errrr-"

"Fort, panggil aku Fort sayang," Peat mendelik tak terima. Apa-apaan dia memanggilnya sayang, Peat belum melupakan kejadian mengerikan malam itu ya, huh.

"Baik, tuan-"

"Cukup Fort saja sayang ... Aku tidak suka kau menambahkan hal lain dalam namaku," erangnya tak suka, kemudian kembali bermain-main di area leher Peat.

"Eughh ..." Peat melenguh, gila. Pria ini selain gila ternyata juga mesum, dia sedari tadi mengambil kesempatan darinya. Peat menjauhkan kepalanya dan membuat pria yang mengaku bernama Fort itu menatapnya tajam.

"Tunggu dulu, tua-emmm Fort ... Maksud ku Fort" ujar Peat menenangkan Fort, namun itu tak berlangsung lama. Fort kembali menarik tubuhnya mendekat, melihat itu Peat hanya bisa memutar bola matanya jengah.  Oh ayolah ...

"Tuan, bukan kah aku tumbal mu? Kenapa aku tidak mati?" Akhirnya pertanyaan yang bersarang di kepala nya di keluarkan juga. Peat memang berharap dia tetap hidup, tapi ini cukup janggal, bukankah di awal pertemuan Fort begitu ingin menelannya hidup-hidup, tapi sekarang? Lihatlah pria itu malah bermanja-manja padanya layaknya seorang kekasih.

"Aku bilang panggil aku Fort, sayang," keluh Fort yang kesekian kalinya.

Cup ...

Satu kecupan singkat mendarat di bibir Peat sebagai bentuk hukuman dari Fort. Peat mengerjap tak percaya, lalu sedetik kemudian melotot tajam pada pria yang tengah berbaring di sampingnya itu.

"Aghh ... Baiklah-baiklah, Fort." pungkas Peat kesal. " Tapi kenapa kau tidak membunuh ku, bukannya kekasih ku menyerahkan ku pada mu untuk menjadi tumbal," lanjut Peat. Udara di ruangan itu seketika berubah menjadi panas, pria di depannya menatap tak suka mendengar penuturan Peat.

"Kau masih mengakuinya sebagai kekasihmu? Cihhh ... Pria brengsek itu?" tanya Fort dengan nada tak suka, yah walaupun Fort tak kalah sintingnya dengan Off, harus Peat akui dia merasa keberatan mengatakan Off sebagai kekasihnya. Manusia setengah setan itulah yang telah membuatnya terlibat dengan pria gila ini, Fort.

"Fokus ke pertanyaannya, Fort. Aku bertanya kenapa kamu tidak membunuh ku?" desak Peat kesal.

"Memangnya kau mau mati?" tanya Fort terheran-heran dengan jalan pikiran pria cantik yang kini tengah ia rengkuh dalam hangatnya pelukan.

"Hah?" Peat mengerjap, ia juga ya. Tapi Peat butuh alasan, bukannya balik bertanya. "Tapi-"

"Kau tidak jadi mati, aku sudah putuskan itu," ujarnya kemudian membenamkan wajahnya di ceruk leher Peat dan menghirup aroma dari tubuhnya dalam-dalam.

   Mendengar itu Peat tersenyum lega, setidaknya ada secercah harapan untuknya hidup. Peat memegang lengan Fort dan mendorong tubuh pria itu sedikit menjauh, baru saja Fort ingin protes Peat sudah lebih dulu menangkup pipinya.
  
"Jadi kau tidak akan membunuhku?" tanya Peat yang langsung di hadiahi gelengan oleh pria itu.

"Aku tidak akan jadi tumbal proyek kan?" lagi dan lagi Fort menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Peat semakin antusias, "Kalau begitu aku bisa pulang kan?" Fort lagi menggeleng, Peat tersenyum lebar sebelum otaknya berhasil mengolah gerakan Fort tadi sebagai jawaban ke otaknya.
"Lah kok gitu? Kan aku bukan tumbal, kenapa aku nggak bisa pulang?" tanya Peat melepaskan pegangannya di pipi Fort.

"Karna kau akan menjadi tawanan ku, kau tidak akan bisa hidup tanpa ku. Kau harus tau itu," ujar Fort percaya diri.

"Ihhh tidak kok, aku bisa hidup. Coba deh kamu kasih aku tantangan tiga hari aja, kamu pulangin aku terus nanti kalo aku masih bisa hidup tanpa kamu. Berarti aku menang," ujar Peat menggebu-gebu. Fort menaikkan alisnya sebelah menatap Peat dengan tatapan intimidasi khasnya.

"Apa kau sedang mencoba bermain-main dengan ku Peat?" tanya Fort sangsi.

"Eh, enggak kok. Kamu kan bilang aku nggak bisa hidup tanpa kamu, aku bisa ko-"

"Tidak, kamu tidak bisa hidup tanpaku," potong Fort tak terima argumennya terbantahkan, Ia dengan sadar mengatakan jika pria itu tidak akan bisa hidup tanpanya barang sehari saja. Fort jamin akan itu.

"Fort ..." Peat menoel-noel pipi Fort dan mengabaikan fakta bahwa pria itu tengah berusaha mengatur emosinya yang naik turun akibat ulah pria kecilnya itu.

"Fort ..."

"Fort kha ..."

"Fort jawab na ..." Panggil Peat dengan nada merengek.

"Hmmm ..." Jawab Fort dengan nada ogah-ogahan.

"Fort aku punya tawaran untuk mu ... Bagaimana kalau kau pulangkan aku dan aku bawa orang lain sebagai gantinya?"

"Hah?"

...

Hayolooo ... Pada mau cuddle juga nggak Ama ayang fort. Nggk ya nggak bisa, antri dulu sama aku. Soalnya abis p'peat ya aku dulu ... Sksksks

Only MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang