RIBUT

99 3 10
                                    

Dengan hebatnya Ina mengeluarkan segala jurus yang ada, dia benar-benar bisa diajak kerja sama oleh Gara. Sehingga keduanya pun berhasil dalam pertarungan, terbirit-birit Romi beserta kawan mereka karena takut dibuat babak belur lagi.

"Syukur! Mampus kaliaaan, bajingaaaan!" teriak Ina sepuas-puasnya.

Gara tersenyum tipis, lalu menepuk-nepuk pundak Karlina. "Udah, mereka pada kabur semua. Jago banget, sih!" puji Gara.

"Ajaran bapak gue nih. Bisa-bisanya mereka mau bikin gue ancur, gak mudaaah. Eh, btw, kok lo bisa ada di sini, sih? Bukannya udah pulang duluan, ya?"

"Enggak. Sebenernya, gue ngikutin lo diem-diem."

"Hah?" Ina menganga kaget, tapi ada untungnya juga ketika Gara jadi penguntit, setidaknya Ina bisa bebas dari jebakan maut si Romi dan genk-nya itu.

"Maaf, bukannya gue ngelunjak. Cuman kasian aja liat lo sendirian."

"Gak pa-pa, bagus juga lo ngikutin gue. Makasih, ya!"

"Iya," jawab Gara senang.

Kini, mereka berdua menghabiskan banyak waktu bersama seharian. Ina juga membawa Gara ke toko mainan anak-anak, meskipun kedua adik kembar Ina masih terbilang bayi, tetap saja dia membelinya. Gara sudah seperti suami siaga, selalu waspada dan menjaga Ina.

Mereka berdua tampak serasi. Kehidupan yang indah bukan? Gara berharap dia bisa jadi kekasih yang baik, tetapi apakah Ina mau jadi kekasihnya? Ah, lagi-lagi harapan itu. Gara sangat ingin tahu kepada siapa hati Ina berlabuh, meskipun hasilnya nanti menyakiti hati, tidak masalah. Namun, dia masih tidak sanggup untuk berkata jujur. Inilah kelemahannya.

"Pulang yuk!" ajak Ina sambil makan es krim cokelat.

"Ayok." Sebelum pulang, Gara mengusap sudut bibir Ina yang terkena cairan es krim.

Cewek itu tersenyum malu, apalagi ketika ada anak-anak kecil menggoda mereka karena disangka pacaran. Buru-burulah Ina mengajak Gara pulang.

Bahkan, setibanya di rumah, Gara disambut hangat oleh ibu dan ayah Ina. Tidak diperbolehkan pulang dulu, harus main beberapa saat di sana, disuguhkan minuman serta makanan. Gara seperti benar-benar diberi lampu hijau menjadi menantu.

"Kuenya enak, lembut," puji Gara.

"Makasih, Nak Gara. Ini kue kesukaan Ina juga, dia suka minta Ibu buat bikinin kue ini," jawab Lastri.

Hampir satu jam di sana. Alhasil, Gara pun pamit pulang. Sementara itu, Ina hanya betah berada di kamar sambil mempelajari beberapa resep makanan di internet, siapa tahu dia bisa mengolah makanan-makanan modern di bisnisnya nanti.

**

Hari-hari berlalu, Daniel tidak berangkat sekolah, dia memilih stay di rumah dengan segudang kesedihan juga rasa kecewa. Ibunya sempat pulang, tetapi tak lama pergi ke luar negeri untuk jalan-jalan bersama teman sosialitanya.

"Mamah capek ngurusin anak kayak kamu, Daniel. Mamah udah berusaha baik sama kamu, untung gak Mamah gugurin aja kamu dulu. Kenapa harus trauma segala? Cuman kecelakaan mobil biasa sampe segitunya!"

Itulah kata-kata terakhir yang terdengar oleh Daniel sebelum Sekar pergi ke luar negeri. Ayahnya hanya bisa menenangkan dia, selepas itu ... sudah. Daniel dibiarkan sendiri lagi dengan obat resep dokter.

Jarum jam terus berdetak mengatur waktu, hingga memasuki pukul dua siang. Daniel melihat jendela kamarnya yang terbuka, dia melirik pula layar komputer yang menampilkan cuplikan film, seorang lelaki yang menjatuhkan diri dari ketinggian apartemen lantai 20.

"Mati?" Hanya kata itu yang terlintas dari diri Daniel.

Lantas, ia beranjak dari duduk, lalu mengambil dasi. Berdirilah dirinya di dekat jendela, sangat menempel. Menutup kedua mata dengan erat-erat, meregangkan tangan ke luar jendela, membayangkan adegan yang sempat terjadi di cuplikan film.

Great Babysitter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang