My Big Baby

3.2K 214 4
                                    

"Asyik, Karlina menang! Bisa makan-makan," ujar Ratno yang dalam otaknya hanya ada makanan dan makanan.

Semua orang memberi selamat pada gadis remaja tersebut. Tidak diragukan lagi kehebatannya sehingga banyak orang yang mengagumi dirinya. Karlina gitu, lho! Anak papa Surya.

"Gue harus pulang, ibu pasti udah nungguin," ucap Karlina sembari membuka helm dan jaket kulit berwarna hitam.

"Ya udah, lo juga harus banyak istirahat. Jangan terlalu sering balapan!" jelas Aji dengan tampang datar dan tetap beku bak kutub selatan, eh .... Utara maksudnya.

"Ayok, lah!" ajak Agas.

Setelah pengambilan hadiah serta piala, mereka berlima pulang. Rumah yang satu arah tetapi beda letak tidak menjadi penghalang untuk kelimanya selalu bersama. Sedari kecil Karlina hanya ditemani oleh empat pria itu. Dia tidak pernah bermain dengan teman wanita yang sebaya dengannya. Bahkan, banyak orang  ingin mendapatkan tempat seperti Karlina yang selalu tampak bahagia.

Sesampainya di depan rumah, Ina tersenyum girang ingin memberikan kabar kemenangannya yang ke sekian kali. Namun, raut wajah cantik itu seketika berubah menjadi ditekuk. Tatapannya sayu kala melihat sang ibu dan ayah duduk di kursi dengan penuh kesedihan. Terdengar isak tangis dua bayi kembar dari dalam kamar.

"Bu ... ada apa?" tanya Ina lirih sembari duduk di lantai memegang lutut sang ibu.

"Rumah kita akan disita," jawab Lastri tersenyum paksa. Duh, jadi kasihan, kan.

"Ayah gak bisa bayar hutang, Nak," sambung Surya.

"Ayah sama Ibu punya hutang apa? Kok, Ina gak tau?" Tampak Lastri dan Surya bertatap mata. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh dua pasang suami istri tersebut.

"Dulu, ayah terpaksa berhutang pada bank untuk pengobatanmu, Ina. Saat lahir kamu mengalami kebutaan, sering sakit-sakitan. Ayah terpaksa melakukan hal itu demi kamu, ayah gak mau kamu hidup dalam hinaan banyak orang," papar Surya yang tentu saja menumpahkan air mata yang sebelumnya tidak pernah Ina keluarkan.

Gadis yang dikenal tegar itu menjadi serapuh ranting, selemah kertas. Membayangkan betapa sakitnya beban yang diterima kedua orang tua hanya untuk menyembuhkan dirinya.

"Maafin Karlina!" Anak remaja tersebut memeluk erat Lastri. Terdengar suara isak tangis. Rumah yang bertahun-tahun berdiri dan ditempati ini akan segera diambil alih.

"Kamu enggak salah, Sayang, jangan nangis!" Tangan lembut itu mengusap hangat punggung sang anak.

"Ina bakal pertahanin rumah ini, pasti bakal Ina lunasin semua hutangnya," ucap Karlina.

"Enggak! Biar ayah yang tanggung semuanya, kamu fokus sekolah saja! Hutang itu sangat besar, Nak," tutur Surya.

"Ayah sama Ibu bisa lakuin apa pun buat Ina, dan Ina juga pasti bisa membalas semuanya walaupun balasan yang Ina kasih gak sebesar pengorbanan Ayah sama Ibu. Memangnya berapa banyak hutang itu?" tanya Karlina.

"Dua puluh lima juta," ucap Surya.

Ia menghela napas dalam-dalam. Seketika keheningan timbul, lamunan mengiringi pikiran Ina.

Pada malam harinya, seperti biasa Ina akan pergi bermain ke lapangan menyaksikan pertandingan bola volly biasa tanpa hadiah apa-apa. Bukan hanya Ina yang hadir, ada banyak orang berdatangan termasuk empat rekan laki-laki Karlina Anindita. Dion membawa banyak camilan serta minuman dingin yang dia ambil dari kulkas rumahnya tanpa sepengetahuan kedua orang tua. Malam ini tidak ada cahaya pada wajah gadis remaja tersebut, lupa pasang senter di muka.

"Gue tau itu pasti berat, Na. Lu terima aja tawaran orang tua gue," ucap Dion.

"Orang tua lo udah sering bantu keluarga gue, Di. Bahkan, pembayaran bulanan sekolah orang tua lo juga yang bayarin. Untuk kali ini gue gak mau ngemis belas kasih orang lain," jelas Karlina menatap sendu nabastala yang sinar rembulannya mulai sirna karena mega menutupinya. Sok puitis author-nya.

"Gue bukan orang lain, gue sahabat lo!" seru Dion.

"Tau, kok. Ya ... gue gak enak aja kalau keseringan dikasih," jawab Ina.

"Terus, lu mau kerja, gitu?" tanya Agas dengan mulut mengunyah keripik singkong. Ratno sebagai penyimak terbaik, Aji pun hanya terdiam dengan seribu kebisuan, bukan bisu beneran.

"Iya, tapi kalian tenang aja! Gue pasti masih tetep sekolah seperti biasa," balas Ina.

***

Satu hari mondar-mandir ke setiap tempat mencari pekerjaan yang tepat. Berkeliling di bawah terik panas matahari, tubuh dipenuhi peluh. Tenggorokan kering bagaikan tanah tandus di padang pasir. Bibir memucat tak berwarna. Mata berbinar karena lelah yang dirasa. Duduk di tepi jalan dengan sebotol air jernih yang tinggal tersisa sedikit lagi.

Jalannya berlenggak-lenggok bak rumput yang tergoyang karena belaian angin yang mendayu-dayu. Setiap jari tangan memiliki perhiasan.  Dibawanya tas mahal kekinian yang seharga jutaan. Dari ujung jalan berdiri mata jahat mengintai. Berlari menarik tas milik orang.

"Kampret! Eh, jambret!" teriak Sekar yang memancing Karlina untuk segera bangkit dari istirahatnya.

"Ada apa, Bu?" tanya Ina pada wanita yang masih asing baginya.

"Itu jambret!" seru wanita tersebut.

Ina berlari dengan kecepatan penuh mengejar penjahat itu, semua orang berteriak. Ada yang mencaci-maki karena dagangannya rusak. Anak-anak menangis melihat keributan. Seseorang tak sengaja melempar kardus sehingga jambret itu terjatuh.

"Mau lari ke mana lagi, hah?"

Ina menghajar pria jahat itu dengan pukulan seribu tangan. Dirinya bergelut di tengah keramaian. Sekar merasa kagum melihat keberanian dalam diri wanita remaja ini. Pikirannya mulai tertuju pada Daniel, sebuah kesempatan bagi Sekar untuk mendapatkan pengasuh hebat seperti Karlina Anindita. Setelah selesai, penjahat itu pun dibawa ke Kantor Polisi oleh warga. Ina mengembalikan tas mahal milik Sekar.

"Makasih, ya! Kalau boleh tau, nama kamu siapa?" tanya Sekar.

"Sama-sama, nama saya Karlina Anindita biasa dipanggil Ina," jawab gadis remaja tersebut.

"Kamu butuh pekerjaan, gak?" Pertanyaan Sekar mengembangkan senyum merekah pada bibir Ina.

"Butuh banget, tapi kerja apa?"

"Babysitter, kamu akan mengasuh my big baby. Dia ganteng, pinter lagi," ujar Sekar. Wajarlah, udah gede anaknya.

Ina merenung sekejap, ia menatap raut wajah Sekar yang penuh harap.

'Big baby, berarti bayinya besar, dong. Tapi gak jadi masalah, gue udah biasa asuh adek kembar' batin Karlina.

"Gimana? Saya bakal bayar kamu dengan gaji yang besar," sambung Sekar.

"Saya mau, tapi saya butuh uang dua puluh lima juta," jawab Karlina membuat Sekar menyunggingkan senyuman.

"Itu uang kecil bagi saya, asalkan kamu mampu bertahan menjadi pengasuh anak saya."

Karlina mengangguk, ia setuju tanpa memikirkan apa pun. Dia tidak tahu jika anak asuhnya akan membuat dia harus banyak menguras emosi memperbanyak kesabaran menambah ketelatenan. Daniel adalah anak yang tidak menyukai orang-orang asing, ia hanya dekat dengan pengasuhnya dahulu. Yaitu, bi Romlah yang kini tengah menikmati masa liburan selama suaminya sakit.

Great Babysitter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang