Bagaikan disambar petir di siang bolong. Pikiran kacau tatapan kosong. Tubuh tersungkur jatuh mengundang riuh bergemuruh. Bergetar hebat terserang sakit yang mengikat.
Karlina secepat kilat monopang tubuh sang teman. Wajah Daniel memucat, ia tak mampu untuk bertahan di bawah terik mentari yang menyorot pada diri. Ina membantu rekan prianya tersebut untuk dibawa ke ruangan UKS agar diperiksa. Sementara yang lainnya tetap melanjutkan hukuman.
"Lo yang kuat!" Ditatihnya Daniel melewati koridor sekolah oleh Karlina Anindita. Di sisi lain ada gadis yang merasa tak terima dengan kedekatan dua remaja itu.
"Gue mau ikut!" teriak Clara, tetapi Agas menahannya.
"Diem di sini! Biar si Ina aja yang ngurusin Daniel," papar Agas.
"Tapi gue juga pengen ngerawat Daniel," rengek Clara.
"Brisik! Lo harus masih dihukum, jangan pergi ke mana-mana!" tangkas Dion.
Di ruang UKS lelaki yang tengah kesakitan tersebut dibaringkan, dan diperiksa oleh dokter. Cemas, itu yang terdapat dalam benak Karlina akibat yang terjadi pada mantan majikannya. Sekitar lima menit, barulah Daniel mulai membaik meskipun masih merasa sakit. Segelas air jernih diberikan, dengan pelan Ina membantu Daniel untuk minum.
"Lo kalau gak kuat bilang, jangan nunggu pinsan," gerutu Ina sembari menaruh kembali gelas air minumnya.
"Maaf, abisnya gue gak mau kalau ...." Daniel merenung, matanya beradu dengan kejora indah Karlina. Mulut terkunci karena tak bisa berkata-kata lagi, hatinya tidak rela jika harus melihat Gara berdampingan dengan Ina. Namun, dirinya terlalu malu untuk mengatakan yang sejujurnya. "Kalau gue pikir-pikir lagi, gimana kalau lo jadi Babysitter gue?" sambung Daniel.
"Hah? Apaan, sih? Gak bakal gue jadi Babysitter lo, bisa-bisa tubuh gue kurus kering. Lagi pula, gue udah punya rumah makan," tutur Karlina.
"Nanti mama gue kasih gaji yang gede, mau?"
"Enggak, bukan soal gaji, Daniel. Ini soal kenyamanan dan kedamaian, udahlah! Mending lo cepet-cepet pulang."
"Ya udah," ujar Daniel cemberut.
***
Jelang sore matahari di ujung senja. Awan melukiskan gambaran dunia dihiasi pasir putih yang bertabur di tepi pantainya. Alunan melodi ombak menghantam batu karang yang tertancap kuat. Pohon kelapa berdiri menyamping menghadap lautan biru. Perahu nelayan masih berjalan di kejauhan. Wanita dewasa yang berumur kisaran tiga puluh tahun melangkah lunggak-lenggok memamerkan tubuh ideal miliknya.
Rambut pirang bergelombang dengan kaos pantai, wajah berbalut make'up tebal serta kaca mata hitam. Dirinya memiliki nama Shanti—adik dari Lastri. Dirinya menghampiri rumah makan sang kakak dengan wujud yang nampak angkuh.
"Mbak Lastri!" Teriakannya menggelegar membawa banyak orang berdatangan.
"Aduh, Mbak Lastri!" Sekali lagi Shanti berteriak menggaduhkan suasana.
"Ada apa, Shanti? Kamu gak usah teriak-teriak! Di sini banyak pelanggan yang makan," ucap Lastri.
"Justru itu, biarin semua orang tahu! Heh, kalian hati-hati kalau pesen makanan di sini. Saya kemarin hampir aja mati keracunan," cecar Shanti mengundang kepanikan pada mereka yang tengah melahap makanan.
Lastri terkejut atas perkataan sang adik, mana mungkin dirinya melakukan kesalahan seperti itu. Kebersihan makanan selalu dia jaga sebelum diberikan pada para pembelinya.
"Kamu ngomong apa, sih? Mana mungkin saya bikin makanan beracun," kilah ibu dari Karlina Anindita ini.
"Hadeuh, Mbak! Jangan pura-pura gitu, deh. Shanti tahu kalau Mbak itu gak suka sama Shanti, tapi jangan sampe mau ngebunuh gitu. Kalau Mbak gak percaya, Shanti bisa buktiin, kok."
"Aduh, saya jadi takut kalau kayak gini ceritanya. Mbak Lastri, saya gak jadi makan di sini," celetuk seorang wanita paruh baya berdaster biru.
"Tapi, Buk!" Lastri berupaya menahan tetapi dirinya gagal.
"Saya juga mau pergi," ucap pria muda.
Beberapa orang memilih meninggalkan rumah makan sederhana tersebut karena perkataan Shanti.
"Shanti, gara-gara kamu pelanggan mbak pada pergi," keluh Lastri sembari sedikit menghela napas.
"Ahh, Mbak! Ini semua 'kan salah Mbak, pokoknya besok Shanti bakal datang ke sini buat minta pertanggung jawaban."
Adik dari pengusaha rumah makan tersebut pergi setelah membuat kegaduhan. Lastri berkacak pinggang dengan hati yang gelisah tak karuan, hari ini Karlina tengah mengurus sang adik kembar sehingga Lastri mesti mengatasi masalah sendirian. Surya masih sibuk mengajar murid-muridnya untuk silat.
Di balik kejadian tadi, wanita angkuh itu berhenti di dekat pohon kelapa yang sepi dari orang-orang karena sudah menjelang malam. Tangannya mengambil sebuah handphone untuk menelepon seseorang.
"Hallo, Sis! Semuanya udah beres, saya berhasil bikin rumah makan milik mbak Lastri tercoreng. Sekarang saya minta bayarannya," ucap Shanti pada sosok yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
***
Hari minggu adalah waktu senggang yang dimanfaatkan sebaik mungkin bagi Karlina Anindita untuk menggantikan sang ibu yang sudah kelelahan mengurus para pelanggan.
Namun, sepertinya hari ini terlihat tak biasa. Para pengunjung pantai ramai tetapi hanya sedikit orang yang mampir ke tempat rumah makannya. Tiba-tiba si wanita angkuh itu datang kembali sebagaimana yang dirinya katakan kemarin, Shanti membawa dua anak buah agar dirinya lebih terlihat berwibawa di mata orang-orang.
"Tante kenapa bawa dua orang itu?" tanya Ina yang belum mengetahui perihal apa pun karena Lastri tak menceritakannya.
"Ibu kamu emang gak bilang, ya? Asal kamu tau, Ina! Saya keracunan setelah pesen makanan dari ibu kamu itu. Sekarang, saya minta pertanggung jawaban! Bayar sepuluh juta," kelakar Shanti dengan sorot mata tajammnya.
"Keracunan gimana? Sepuluh juta? Itu mahal banget, lagian Tante baik-baik aja, kok," cetus Karlina tak terima.
"Eh, eh, kamu gak usah marah gitu! Bisa-bisa tante bakal laporin kejadian ini ke polisi," ancam Shanti.
"Apa ini bawa-bawa polisi?" tanya Daniel yang baru saja datang bersama Clara.
'Mampus, tuh, anak desa' batin Clara.
"Kamu gak usah ikut campur! Ini urusan saya sama si Ina dan keluarganya, mendingan kamu jangan deket-deket sama si Ina, dia itu penipu," cela Shanti tidak menjaga ucapannya di depan orang lain.
Seharusnya dia membicarakan masalah ini dengan baik secara kekeluargaan, tetapi karena bayaran dirinya rela menjatuhkan martabat keluarga.
"Kenapa, Ina?" tanya Daniel pada gadis remaja berkaos biru tua tersebut.
"Tante gue minta ganti rugi sepuluh juta, sedangkan itu juga cukup buat beli bahan makanan. Apalagi pelanggan sekarang sepi," papar Karlina.
"Biar saya yang bayar kerugiannya," ucap Daniel membuat Ina tercengang. Bibir tipis Clara maju beberapa senti, tidak sudi mengetahui jika pria yang disukainya membantu gadis lain.
"Oke, saya minta sekarang juga," jawab Shanti.
'Ihh, ngeselin banget, sih!' Clara menggerutu dalam kalbu panasnya cemburu tengah menggebu.
"Ini cek, tinggal dicairkan aja!" Daniel menyerahkan cek yang bisa menghasilkan uang sepuluh juta. Shanti dengan senyum liciknya pergi sembari menatap sinis Karlina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Babysitter
Ficção Adolescente[FOLLOW DAHULU BARU BACA! JANGAN LUPA KOMEN SERTA VOTE! DILARANG KERAS PLAGIAT] Karlina Anindita, gadis SMA yang sedikit tomboy itu mempunyai empat teman pria yang mempunyai kepribadian berbeda. Karlina yang sering disebut Ina dikenal mahir dalam b...