Seperti hari-hari sebelumnya, sore ini pun aku duduk di batuan besar yang ada di tepian laut. Mataku tidak henti-hentinya memandang lautan lepas, berharap sebuah kapal akan segera bersandar ke dermaga dan membawa Mas Laut pulang.
Gelombang air laut yang bergerak ke tepian lalu menabrak batuan menciptakan suara deburan bagaikan musik ditengah waktu yang terus menerus berlalu.
Rambut hitamku bergerak gerak karena terpaan angin laut. Aku merapatkan jaket hitam ke tubuh untuk menghalau dinginnya suhu.
Matahari kini mulai bergerak turun seperti ditelan lautan. Langit pun berwarna jingga. Senja yang memanjakan mata ditengah lautan lepas.
Mataku berkaca-kaca. Kenapa Mas Laut lama sekali? Kapan dia akan kembali?
"Buih!"
Aku menoleh.
Kulihat Bang Laksmana dengan setelan kemeja hitam dipadukan celana jeans dan sepatu converse, berjalan tertatih menghampiriku. Dia adalah Abang kandungku.
"Ayo pulang," ajaknya seraya menarik pergelangan tanganku.
Aku menggeleng. Menolak ajakan Bang Laks.
"Sampai kapan kamu akan nungguin Mas Laut?"
"Sampai dia datang," ucapku mantap.
Raut wajah Bang Laksmana berubah sendu. "Ikut Abang pulang dulu, nanti kamu akan tau."
Aku duduk di atas motor Vario 125 perpaduan warna hitam dan merah yang dikendarai oleh Bang Laks.
Perasaanku mendadak tidak enak. Air mataku juga terus menerus turun padahal aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Pikiranku tiba-tiba melayang kemana-mana.
"Mas Laut kenapa?" Tanyaku.
"Kenapa Abang tau tentang dia duluan? Kenapa Mas Laut nggak ngabarin aku duluan? Aku udah nungguin dia lama," suaraku bergetar.
Bang Laksmana hanya diam membisu. Namun kulihat dari kaca spion motor, air matanya turun membasahi pipinya.
"Abang! Jangan diem aja! Jawab pertanyaan Buih!"
"Mas Laut baik-baik aja, kan? Iya, kan?"
Aku butuh validasi, namun tidak aku dapatkan jawaban yang aku mau keluar dari mulut Bang Laksmana. Ia tetap diam membisu.
Bang Laksmana menghentikan motor, menstandarkannya, lalu melepaskan helmnya dan helm yang ada di kepalaku. Ia menggenggam tanganku erat memasuki rumah. Di ruang keluarga, masih tanpa sepatah katapun, ia mengambil remot kemudian menyalakan televisi.
Seketika sebuah berita muncul. Ternyata di semua stasiun televisi telah menyorot kasus serupa.
"Mas Laut nggak akan pernah datang, dia sudah meninggal."
Aku masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi dan ketika aku sudah menyadarinya, tangisanku seketika pecah.
Bang Laksmana menarikku ke dalam pelukannya. Air matanya turut jatuh bersamaan dengan tangisanku. Ia memang paling tidak bisa ketika melihatku menangis.
Bang Laksmana mengusap-usap lembut punggungku. Bahuku bergetar hebat karena sesenggukan dan tangisanku juga tidak kunjung reda.
---000---
written by Caaay
©2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih di Lautan
Teen FictionKarena ada suatu masalah, Buih Pitaloka harus pindah dari ibu kota hingga ia bertemu dengan laki-laki bernama Laut Makrib, putra seorang nelayan laut Jawa. Keduanya meramu kasih ditengah perbedaan strata sosial hingga menyebabkan pertentangan dan me...