Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi hingga terdengar ke seluruh penjuru SMA Kwangya, Bu Anggun menutup pelajarannya dengan mengucapkan salam pada para muridnya kemudian beliau pergi sambil menenteng buku paket serta laptop yang dibawanya ketika mengajar.
Aku membereskan semua alat tulisku dari mulai pulpen hingga tip-x yang berserakan di meja untuk kumasukkan ke tempat pensil.
Vale, Zeline, dan Suny berjalan duluan keluar kelas meninggalkanku. Aku buru-buru membereskan buku-bukuku setelah itu semua alat tempur sekolahku itu aku masukan ke dalam tas. Aku langsung memakai tasku dan berlari mengejar mereka yang sudah jalan duluan.
"Vale, tungguin!"
Vale tidak menoleh, ia terlihat asik mengobrol dengan Suny dan Zeline. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kelihatannya seru sekali.
Aku berusaha menyamai langkah mereka hingga akhirnya bisa berjalan sejajar dengan mereka.
"Bu, gue pulang nebeng lo, ya," ucap Zeline.
"Gue juga. Gue duduk di bangku depan, sebelah lo, Bu," kata Vale antusias. "Biarin si Zeline sama Suny duduk di kursi belakang."
"Eh, enak, aja. Gue nggak mau duduk di sebelah Monyet Babun!" Ejek Suny.
Vale tertawa. Sedangkan Zeline ekspresinya kesal.
"Mulut lo mau gue gampar, Sun?" tawar Zeline ketus.
"Ayo lah, Bu. Panas, nih. Gue mau ngadem di mobil lo." Vale mengamit lenganku dan membawaku berjalan di sampingnya dengan mesra.
Aku menggaruk kepalakku yang tidak gatal. "Sorry, Vale. Gue hari ini lagi nggak bawa mobil."
Vale langsung melepaskan gendengan tangannya pada lenganku. Senyumannya memudar.
"Maksut lo apaan?" tanya Zeline.
"Kemarin gue berantem sama Bang Laks terus paginya gue nggak bisa ngeluarin mobil gara-gara sengaja dialangin sama mobilnya Bang Laks. Jadinya tadi pagi gue ke sekolah naik grab," kataku jujur.
Tadi pagi aku sempat berantem lagi dengan Bang Laksmana karena kelakuan Bang Laksmana yang sengaja memarkirkan mobil Pajero sport-nya menyilang hingga membuat aku tidak bisa mengeluarkan mobil HRV-ku dari parkiran.
Entah apa maksutnya melakukan itu. Tapi itu sangat menyebalkan. Sepertinya ini imbas dari Bang Laksmana yang memarahiku karena aku diajak pergi oleh teman-temanku dan pulangnya kemalaman.
Aku minta Bang Laksmana untuk segera memindahkan mobilnya itu agar mobilku bisa keluar, namun Bang Laksmana malah menyembunyikan kunci mobilnya dan dia hanya diam membisu seolah aku ini tidak kelihatan.
Apapun yang aku katakan dia hanya diam, aku mengomel, dia diam, aku memakinya, lagi-lagi Bang Lakmana diam, bahkan pada puncak kekesalanku aku melemparkan remote tv ke arahnya hingga mengenai keningnya dengan keras, yang aku yakin rasanya itu pasti sakit. Bang Laksmana tetap diam. Dia memandangku dengan tajam, rahangnya mengeras lalu dia berkata;
"Kurang keras ngelempar remote tv-nya, kening gue masih belum bocor."
Aku langsung kicep. Setelah itu aku memilih segera pergi dari rumah dan ke sekolah naik grab. Kalimat dari Bang Laksmana tadi pagi bahkan sampai saat ini masih terngiang di kepalaku. Sepertinya aku terlalu kasar padanya.
"Yah, nggak seru lo!" Ucap Zeline dengan ekspresi tidak mengenakan.
"Maaf," kataku.
"Buih!" Panggil seseorang.
Aku menoleh dan saat itu juga aku melihat Bang Laksmana dengan setelan pakaian kasual sweater cokelat dipadupadankan celana jeans hitam dan sepatu putih, sedang berdiri menyender di samping pintu mobil pajero sport hitam gagah miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih di Lautan
Roman pour AdolescentsKarena ada suatu masalah, Buih Pitaloka harus pindah dari ibu kota hingga ia bertemu dengan laki-laki bernama Laut Makrib, putra seorang nelayan laut Jawa. Keduanya meramu kasih ditengah perbedaan strata sosial hingga menyebabkan pertentangan dan me...