Tidak terasa sebentar lagi 3 tahun masa SMA ku akan habis. Semua keluargaku berpendidikan dan tentunya sudah pasti setelah dari SMA aku harus melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
Saat ini aku sedang berdiri di balkon kamar, memandang langit Semarang penuh bintang sambil teleponan dengan Bang Laksmana yang saat ini sedang berada di Jakarta.
"Lo udah ada pandangan mau ambil jurusan apa nanti?" tanya Bang Laksmana dari seberang sana.
"Udah, Bang," jawabku.
"Ngambil apa?"
"Gue pengen di fakultas ekonomi aja, kalau nggak manajemen ya akuntansi."
Aku selama di SMA mengambil jurusan IPS. Tentunya akan lebih mudah bagiku kalau mengambil jurusan yang sejalan. Aku sudah memikirkan kedua jurusan itu baik-baik.
"Kuliah di Jakarta, ya," pinta Bang Laksmana.
Aku mengembuskan napas panjang, sebelum kemudian menjawab permintaan Bang Laksmana tersebut. "Gue masih berat buat balik, Bang."
Aku masih perlu untuk memikirkan hal ini lagi. Bang Laksmana kemudian bercerita padaku, katanya Palung akan kuliah ke Jakarta.
Aku mengkeh, "Lo makin deket aja sama Palung."
"Gue udah anggep dia kayak adek gue sendiri. Lagian dia juga baik."
Bang Laksmana tentu saja memintaku untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta supaya aku bisa kembali pulang dan dekat dengannya. Abangku itu memang tidak bisa jauh-jauh dariku, padahal kalau bertemu sering berantem. Aku rasa, kebanyakan kakak adik juga begitu.
---000---
Aku duduk di atas boncengan sepeda ontel Mas Laut. Dia membawaku jalan-jalan untuk sekedar menghirup udara segar di pinggir laut. Dalam perjalanan santai di atas sepeda tersebut, kita mengobrol bersama.
"Lulus sekolah nanti kamu mau ambil jurusan apa?" Tanyaku.
Pertanyaan setelah lulus SMA mau ngapain memang selalu menjadi topik panas menjelang pergantian tahun ajaran baru, seperti saat ini.
"Aku mau langsung kerja."
"Tapi mamaku lebih suka aku sama laki-laki yang berpendidikan, mas."
Setelah aku mengatakan itu, Mas Laut terdiam. Aku pun juga sama-sama diam. Untuk beberapa detik, kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Aku sebenarnya pengen kuliah, tapi aku nggak punya biaya." Jawab Mas Laut sambil terus mengayuh sepeda onthel peninggalan almarhum Bapaknya. "Bisa buat makan aja aku udah bersyukur."
"Kan bisa cari beasiswa," saranku.
Mas Laut terkekeh. "Aku nggak sepinter itu, Bu."
"Maaf Mas, tapi masih ada beasiswa kurang mampu," kataku hati-hati karena takut menyinggung hatinya. Karena akhir-akhir ini topik tentang perbedaan strata sosialku dengan Mas Laut sedang tidak baik-baik saja.
Setelah itu Mas Laut bercerita padaku.
"Aku nggak yakin bisa dapet, karena tiap ada bantuan dari pemerintah aku nggak pernah dapet, yang dapet malah keluarganya pak lurah semua. Padahal mereka keliatan mampu," ucap Mas Laut menceritakan ironi yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
"Banyu bilang, katanya dia juga pengen kuliah. Kamu tau, Bu, Banyu itu jauh lebih pinter daripada aku."
Setelah itu Mas Laut membanggakan kehebatan Banyu padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih di Lautan
Teen FictionKarena ada suatu masalah, Buih Pitaloka harus pindah dari ibu kota hingga ia bertemu dengan laki-laki bernama Laut Makrib, putra seorang nelayan laut Jawa. Keduanya meramu kasih ditengah perbedaan strata sosial hingga menyebabkan pertentangan dan me...