"Laks, Buih udah bangun?" tanya Mama yang ada di ruang makan.
Bang Laksmana menarik kursi, "Belum, Ma." Lalu ia mendudukan diri.
"Coba kamu bangunin adek kamu, keburu siang. Takutnya telat sekolah," pinta Mama.
"Ma," ucapku sembari melangkah menuruni anak tangga.
Mama dan Bang Laksmana menatap kedatanganku.
"Ouh, Buih udah bangun, Nak. Ayo siap-siap, nanti biar Bang Laks yang nganterin kamu sekolah," bujuk Mama.
Aku menatap Mama dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis. "Buih nggak mau sekolah lagi, Ma. Buih takut."
Air mataku jatuh.
"Ada apa? takut kenapa?" Mama menatapku dan Bang Laksmana secara bergantian. "Sebenarnya ada masalah apa ini? Kenapa nggak ada yang bilang sama Mama?"
Bang Laksmana menatapku, kemudian beralih menatap Mama. "Biar Laks aja yang jelasin semuanya," tuturnya.
Bang Laksmana kemudian menceritakan semua yang ia tahu tentangku, juga tentang perlakuan teman-temanku. Sampai dengan pada puncaknya, kemarin, dimana aku dibully habis-habisan oleh mereka lalu aku menelpon Bang Laksmana supaya segera menjemputku pulang. Semuanya Bang Laksmana ceritakan secara detail. Sementara aku yang mendengarnya hanya bisa menangis.
"Buih takut, Ma. Tolong Buih..." ucapku lirih. "Buih nggak mau sekolah. Buih takut ketemu mereka lagi."
Mama tampak syok mendengar semuanya.
"Mama nggak tahu kalau kamu dibully sampai separah itu. Berandalan kurang ajar! Berani-beraninya memperlakukan anakku seperti itu. Nggak punya adab!" Maki Mama kesal, matanya turut berkaca-kaca.
"Maafin Mama, sayang..." Mama memelukku. "Maafin Mama..."
Mama mengusap-ngusap lembut puncak kepalaku. "Sakit hati Mama dengernya."
Aku menangis dalam pelukan Mama.
"Yasudah kamu tenangin diri kamu dulu, nggak usah datang ke sekolah dulu hari ini."
Aku mengangguk.
"Laks," Mama beralih memandang Bang Laksmana. "Kamu temenin adek kamu terus. Jangan biarin dia sendirian."
"Iya, Ma." Bang Laksmana mengangguk.
Seharian penuh aku hanya berada di rumah dan Bang Laksmana menemaniku. Ia sampai mengorbankan waktu nongkrongnya bersama teman-temannya hanya untuk bersamaku supaya aku tidak merasa sendirian dan kesepian. Sampai tiba lah, keesokan harinya.
Aku masih tidak memiliki keberanian untuk kembali ke sekolah usai kejadian kemarin lusa. Nyaliku seakan ikut tenggelam bersamaan dengan kepalaku yang ditenggelamkan di air wastafel.
"Buih maunya apa, hm? Bilang, Nak, sama Mama," ucap Mama pagi hari ini di meja makan.
"Buih nggak mau sekolah lagi. Buih takut ketemu sama mereka," jawabku, masih sama seperti kemarin.
"Mama ngerti Buih takut, memang nggak gampang buat nglewatin ini semua. Tapi Buih harus inget, Buih masih punya Mama sama Bang Laks." Mama menggenggam tanganku yang ada di atas meja makan.
"Gue disini buat lo, Bu," imbuh Bang Laksmana.
Aku menatap abangku. Dia mengangguk, seakan meyakinkanku bahwa perkataannya itu bisa aku pegang dan percayai sepenuhnya.
Mama kembali bersuara, "Buih nggak bisa terus-terusan diem di rumah gini dan nggak sekolah."
Aku menunduk. "Buih mau pindah sekolah aja, Ma," pintaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih di Lautan
Fiksi RemajaKarena ada suatu masalah, Buih Pitaloka harus pindah dari ibu kota hingga ia bertemu dengan laki-laki bernama Laut Makrib, putra seorang nelayan laut Jawa. Keduanya meramu kasih ditengah perbedaan strata sosial hingga menyebabkan pertentangan dan me...