Di kelas, beberapa murid laki-laki yang duduk di bangku belakang sedang asik mengobrol mengenai rencana mereka pulang sekolah nanti. Aku hanya duduk diam di kursiku sembari bermain ponsel, membuka trending baru di twitter, meskipun begitu aku tetap bisa mendengar obrolan mereka.
"Ini ntar pulang sekolah pada main ke rumahnya Abdul?" tanya Duloh, laki-laki yang duduk di kursi depan Mas Laut.
Ia sampai membalikan tempat duduknya untuk berbicara dengan temannya yang ada di kursi belakangnya.
"Jadi lah. Main PS kita," jawab Aziz. Pria berkulit sawo matang. Ia sedang numpang duduk di samping Mas Laut karena biasanya Mas Laut hanya duduk sendiri.
"Tugas kerjain dulu, baru main PS," timpal Bening. Gadis yang duduk di sampingku. Tempat dudukku berada dua kursi di depan Mas Laut.
"Kamu sekelompok sama aku. Tugas kagak kelar, aku slepet matamu, Ziz," lanjut Bening.
Fokusku pada ponsel seketika pecah lalu kuletakan ponselku di atas meja untuk menyimak obrolan mereka yang sepertinya seru itu. Kalau ada Bening, suasana yang semula sepi langsung cair.
Abdul, laki-laki yang duduk di samping Aziz itu, dia juga tertawa.
"Mampus, Ziz," ejeknya.
Aziz berdecak kesal, "mompas mampus."
Aku memperhatikan Mas Laut. Sedari tadi teman-temannya yang lain pada asik mengobrol, sedangkan Mas Laut hanya diam dipojokan, tidak diajak ngomong, atau mungkin dianya saja yang malas ngomong.
Melihat Mas Laut sekarang, membuatku dejavu dengan masa laluku dulu ketika bersama Suny, Zeline, dan Vale.
"Mas Laut, ikut ke rumahku nggak?" ajak Abdul.
Duloh menyahut, "Kamu ngajak Mas Laut emangnya dia ntar ke rumahmu naik apa, ha? pikir lah."
"Yang lain udah pada dapet boncengan motor," kata Bening.
"Tau tuh," timpal Duloh.
Aziz kembali bersuara, "Mas Laut kan kagak punya motor, cuma bisa jadi beban." Ia lalu tertawa. "Hahaha, canda, Ut," ucap Aziz.
"Ntar Mas Laut dibonceng bertiga sama si Bening aja," saran Abdul.
"Nggak!" Tolak Bening mentah-mentah. "Kamu kira aku cabe-cabean?!"
"Kalau gitu Mas Laut naik di atas pundak Duloh aja," kata Abdul.
Mereka lantas tertawa bersama. Mas Laut hanya diam. Ia tidak menanggapi apapun. Kutatap wajahnya, ekspresi Mas Laut datar, tapi sedetik kemudian ia tersenyum tipis. Setelah itu ekspresinya kembali datar seperti semula.
Mereka semua bercanda, tapi kenapa aku yang mendengarnya saja turut merasa sesak?
"Mas Laut," panggilku.
Dia menoleh, lalu kedua matanya menatapku lekat.
Mas Laut itu ketika diajak bicara, pasti matanya langsung menatap lekat lawan bicaranya. Bagi yang tidak biasa sepertiku, tentu saja ini menguji detak jantung.
"Kenapa, hm?" tanyanya, karena sedari tadi aku tidak kunjung membuka suara.
"Maaf, kemarin gue marahin lo," ucapku.
"Iya nggak papa," jawabnya. Sorot matanya masih belum beranjak dari wajahku.
"Gimana kaki lo sekarang?" tanyaku.
"Udah baikan," ia tersenyum. "Cuma masih ngilu aja kalau ditekan."
"Ya jangan ditekan-tekan dong," sahutku.
Mas Laut tertawa. "Hahaha, iya."
"Makasih sudah khawatirin aku," katanya.
"Biasa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih di Lautan
Teen FictionKarena ada suatu masalah, Buih Pitaloka harus pindah dari ibu kota hingga ia bertemu dengan laki-laki bernama Laut Makrib, putra seorang nelayan laut Jawa. Keduanya meramu kasih ditengah perbedaan strata sosial hingga menyebabkan pertentangan dan me...