Karena masih sakit, hari ini Mas Laut pulang dijemput oleh Bapaknya. Ketika memasuki waktu pulang sekolah langit menumpahkan air hujan ke bumi. Hujan turun dengan begitu deras. Di tengah cuaca yang seperti ini, kulihat Bapak tetap berdiri di depan gerbang SMA Garuda hanya untuk menunggu putranya, Laut Makrib. Tubuh Bapak ditutupi oleh jas hujan plastik warna hijau yang harganya limaribuan kalau dibeli di pasar.
"BAPAK!" Seru Mas Laut seraya melambaikan telapak tangan..
Bibir Bapak tertarik membentuk senyuman ketika melihat Mas Laut melangkah keluar menuju gerbang untuk menemuinya.
Aku tetap berdiri di koridor sekolah karena aku tidak membawa jas hujan. Takut basah, nanti sakit. Sedangkan Mas Laut memilih menerobos hujan untuk menghampiri Bapak.
"Teles to, Nang," kata Bapak.
[Basah kan, Nak]
Bapak langsung buru-buru memakaikan jas hujan yang ia lipat ditangan itu ke tubuh Mas Laut.
Aku mengamati interaksi Bapak dan Mas Laut seraya tersenyum. Hatiku mendadak sesak. Aku iri dengan kedekatan mereka berdua, sedangkan aku dari kecil belum pernah merasakan moment seperti itu dengan ayahku.
***
Aku bosan kalau harus menghabiskan hari minggu hanya di rumah saja. Mendadak terbersit di pikiranku, aku ingin memberikan Mas Laut sebuah kejutan. Aku ingin main ke rumahnya Mas Laut, tapi sebelumnya aku tidak bilang-bilang. Biar menjadi kejutan untuknya.
Aku menuju ke rumah Mas Laut dengan diantarkan sebuah mobil avanza putih hasil memesan dari aplikasi ojek online. Kalau saja mobilku ada disini, pasti aku akan lebih memilih menuju rumah Mas Laut dengan menyetir mobil sendiri. Namun, sayangnya mobil HRV milikku aku tinggalkan di Jakarta. Dan untuk mobilitasku sekarang, aku lebih sering diantar jemput oleh Palung atau memesan ojek online.
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya mobil yang aku tumpangi ini sampai di sebuah perkampungan nelayan, kampung tempat tinggalnya Mas Laut. Ketika mobil memasuki kampung, beberapa pasang mata menjadi tertuju padaku. Ibu-ibu yang semula menjemur ikan asin di halaman rumah, menjadi menatapku. Pun ibu-ibu yang sedang mengupas sisik ikan di pinggir laut, juga menatapku.
Hingga aku melangkah menuju kediaman Mas Laut pun, mata para ibu-ibu kampung sini yang masih terus menatapku.
Memangnya ada yang salah dengan penampilanku? Aku mengenakan sebuah dress warna kream bermodel vintage yang panjangnya selutut dan mengekspos kaki mulusku, kemudian surai hitamku kubiarkan terurai dengan aksesoris sebuah bandana polos berwarna biru. Aku merasa penampilanku saat ini masih cukup sopan. Lalu kenapa ibu-ibu itu terus memandangku?
Aku tersenyum ketika melihat Mas Laut yang mengenakan kaos oblong warna putih, berlari dari arah pinggir laut menghampiriku.
"Buih...," seru Mas Laut seraya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih di Lautan
Roman pour AdolescentsKarena ada suatu masalah, Buih Pitaloka harus pindah dari ibu kota hingga ia bertemu dengan laki-laki bernama Laut Makrib, putra seorang nelayan laut Jawa. Keduanya meramu kasih ditengah perbedaan strata sosial hingga menyebabkan pertentangan dan me...