FWB : 29

5.5K 150 6
                                    

Friends with Benefits °•° Part 29

Azura menatap makanan di depannya dengan tatapan berbinar. Setelah mereka memakan steak tadi, Azura memesan makanan penutup berupa kue-kue manis dan pudding cantik. Jefian sendiri hanya memesan pancake sebagai makanan penutup karena ia tidak terlalu suka makanan manis seperti yang dipesan oleh Azura. Mereka saat ini sedang makan di restoran bintang lima dengan meja khusus pasangan yang entah kenapa terlihat seperti berkencan. Taplak meja berwarna merah dengan lilin aesthetic di atasnya serta bunga mawar yang ada di dalam vas kaca. Duduk di dekat jendela dengan pemandangan kota yang sangat indah di malam hari dihiasi lampu-lampu dan bintang di langit. Benar-benar definisi berkencan.

“Lo enggak bakal bangkrut ’kan traktir gue makan gini?” Dengan wajah tanpa dosa, Azura mengucapkan itu kepada Jefian. Jefian sendiri mendelik sinis, “lo kira gue miskin? Lo mau gue beli nih restoran juga bisa.”

Azura mengangguk kecil dan kemudian memakan kuenya. Gadis itu memekik kecil dan tersenyum manis kepada Jefian. Entah kenapa, di mata Jefian ekspresi yang ditampilkan oleh Azura itu sangat cantik dan karena memang otak Jefian itu mesum, ia malah terangsang.

Author : Jefian, goblok. Sangean!

“Biasa aja makannya,” ucap Jefian. Azura yang melihat itu malah menatapnya bingung, “gue biasa aja, njing.” Azura membalas dengan tidak santai.

Jefian mendelik malas dan kemudian melanjutkan acara makannya. Keduanya makan dengan khidmat dan saat akan membayar, tiba-tiba saja seorang pria mendekati meja mereka. Azura yang melihat itu langsung memasang wajah kesal. Itu adalah Panji, Ayahnya Azura dan Azalea.

“Bagus. Enggak pulang ke rumah ternyata malah enak-enakan pacaran, hm!” Jefian menatap pria itu bingung, tapi begitu Azura menatap pria itu kesal, Jefian langsung paham. Mungkin pria ini adalah keluarganya Azura.

“Maaf, Om. Om, salah paham. Kita enggak pac—”

“Papa kepo banget deh. Mending gosah urusin Zura. Urusin aja tuh anak kesayangan Papa yang lagi hamil. Oh, udah lima bulan, 'kan ya? Seneng dong, Papa bentar lagi jadi kakek. Kakek karena anak kesayangan Papa malah hamil sama pacar kakaknya sendiri. Dih, murah banget,” ucap Azura tanpa malu.

Panji yang mendengar itu langsung emosi, “kamu! Anak enggak sopan! Pulang, ikut Papa!” Panji menarik tangan Azura hingga gadis itu berdiri. Azura memberontak bahkan beberapa pelayan restoran hendak melerai, tapi Panji dengan kasar membentak mereka. Jefian yang kasihan pun langsung berdiri dan menarik Azura yang hebatnya bisa langsung lepas dari Panji.

Azura langsung bersembunyi di belakang Jefian sedangkan Jefian kini harus berhadapan dengan tatapan tajam Panji. Panji langsung menatapnya marah, “gosah ikut campur. Kamu anak kecil mana paham urusan keluarga orang!”

Jefian mencoba sabar, “maaf banget nih. Om, kalo sama anak cewek tuh harusnya lembut jangan kasar apalagi main kasar narik gitu. Kalo tangan anak Om putus, Om mau? Ntar anak Om buntung lho. Trus tengah malem tuh tangan gentayangan kayak di tangannya peliharaannya Wednesday. Ngeri tau, Om. Bisa psikopat gitu nanti arwah tangannya,” ucap Jefian.

“Banyak bacot. Anak siapa sih? Enggak pernah diajarin sama orang tuanya, ha? Enggak punya sopan santun gini. Pasti orang tuanya juga enggak punya adab. Ibu kamu enggak ngajarin kamu, ha?!” bentak Panji.

Mendengar Ibunya dihina, Jefian langsung emosi. Ia tak peduli mau orang menghina Arjuna, Bapaknya. Namun, kalo Elena selaku Ibunya dihina, ia akan marah. Sangat-sangat marah.

“Om, enggak diajarin sopan santun juga dong! Orang tua saya tuh ngajarin saya buat sopan sama orang yang benar-benar layak dapet perlakuan itu. Kalo modelannya kayak Om gini, saya rasa enggak pantes deh saya hormatin. Sama anak sendiri aja malah kasar begitu. Apa begitu seorang laki-laki harus bersikap?” balas Jefian.

“Bocah, enggak usah ngajarin saya! Saya lebih tua daripada kamu!” bentak Panji.

“Om juga enggak boleh bentak anak Om sendiri. Perempuan pula, udah mah gitu main kasar.” Jefian membalas tak mau kalah.

“KAMU! BOCAH ENGGAK SOPA—”

“Ada apa ini?”

Mereka menoleh dan mendapati Arjuna, Bapaknya Jefian datang mendekati mereka. Panji langsung menatap pria itu dengan tatapan ramah, “Pak Juna ngapain ke sini? Maaf, saya lama. Ada anak-anak enggak sopan yang harus diajarin. Kayaknya mereka enggak pernah diajarin sama orang tua mereka di rumah.”

Ya, Panji dan Arjuna sedang bertemu di restoran itu untuk membahas kerjasama perusahaan mereka. Panji berucap begitu tanpa tau kalau anak laki-laki di depannya itu adalah anak orang yang ingin ia ajak kerjasama.

Arjuna menatap Jefian tajam, “bocah tidak sopan?” Panji mengangguk, “benar. Masa anak ini sok menasehati saya padahal saya itu Bapaknya perempuan yang dia ajak makan ini,” ucapnya sambil menunjuk Azura. Azura yang terima langsung membela Jefian, “ya Papa sendiri yang kasar sama Zura. Jefian bener kok, orang kasar kayak Papa apalagi sama anaknya sendiri itu enggak pantes dihormatin,” ucapnya.

Panji langsung kembali emosi, “AZURA!”

Arjuna melerai, “cukup. Kalian enggak malu? Ini tempat umum, punya sedikitlah rasa malu. Kalo ada yang ngerekam dan nyebar ke internet, kalian bakal viral. Enggak malu apa? Masalah keluarga malah diumbar keluar,” ucapnya.

“Biarin aja, Pa. Biar orang-orang se-Indonesia tau kalo bapak-bapak satu ini tuh kasar sama anaknya sendiri,” ucap Jefian.

Panji yang kembali kesal pun menatap Jefian marah, berbeda dengan Azura yang langsung menatap Jefian kaget.

“KAMU! BOCAH KURANG AJA—”

“Pa? Itu Bapak lo?”

Panji yang tadinya ingin marah langsung menatap Jefian kaget begitu mendengar ucapan anaknya. Ia langsung menatap Arjuna, “anak laki-laki ini anak Pak Juna?” tanyanya memastikan.

Arjuna mengangguk, “iya. Itu anak saya. Jefian,” jawabnya.

Panji kelu, ia tak bisa berucap apa-apa. Jefian yang melihat itu langsung tersenyum senang, “kicep, Om? Ayo, tadi mau ngatain Jefi apaan? Kata Om orang tuanya Jefi enggak pernah ngajarin Jefi sopan santun, 'kan? Nah, yaudah marahin aja tuh Bapaknya Jefi. Akhlak Jefi gini ya karena cetakannya tuh dari Papa Juna.”

Arjuna mendelik, “Jefi, mulutnya. Mau Papa tempeleng?” Jefian menjulurkan lidahnya kepada Ayahnya, pertanda mengejek.

Panji menatap Arjuna merasa bersalah, “maaf, Pak. Saya enggak tau.” Arjuna mengangguk kecil, “gapapa. Anak saya memang kayak setan kok,” balasnya.

Kali ini, Jefian yang mendelik, “Papa juga setan berarti!” Arjuna menatap Panji serius, “saya rasa kerjasama kita tunda dulu, Pak Panji. Anda sebaiknya selesaikan urusan rumah anda sampe selesai. Saya enggak mau urusan begitu, mengangguk profesionalisme anda dalam bekerja.”

Jefian menatap Panji mengejek, “yah ... enggak jadi deal kerjasama dong. Hahahaha ....”

Arjuna menegur, “yang sopan, Jef.” Jefian terkekeh kecil, “Eh, Pah. Bayarin pesenan Jefian dong.” Arjuna menatapnya, “uang kamu mana?” tanyanya.

“Ada kok, tapi selagi Papa ada, ngapain Jefi harus keluar uang? Uang Papa 'kan buat keluarga. Jefi 'kan anak Papa. Uang Papa, uang Jefi juga dong,” ucap Jefian. Arjuna menarik napas panjang, “terserah.”

Jefian tersenyum dan kemudian menggandeng Azura pergi. “Dadah, Papa! Semangat kerja Bos besar!” Meninggalkan Panji bersama para pengunjung restoran dan pelayan yang masih syok serta Arjuna yang hanya bisa bersabar karena memiliki anak modelan Jefian.

Duh, sayang. Kok bisa sih kamu ngelahirin anak setan kayak Jefi? Batin Arjuna merana.

°•° To be Continued °•°

FRIENDS WITH BENEFITS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang