Friends with Benefits °•° Part 17 by girlRin
Malam harinya, Cakra pulang cukup awal. Biasanya yang pulang hampir tengah malam, justru hari ini ia malah pulang sebelum jam sembilan malam. Begitu ia masuk ke dalam rumah, ia malah disuguhi pemandangan dimana Jefian sedang memakan mie sambil menonton film di ruang tengah.
“Lha, balik lo, Bang?” tanya Jefian lengkap dengan mie masih menggantung di mulutnya. Mungkin terlampau kaget melihat Cakra pulang cepat.
“Meeting gue dicancel,” jawabnya sambil berjalan mendekati Jefian dan duduk di sampingnya. “Tumben makan mie, biasanya beli keluar.”
Jefian menghabiskan mie yang ada di dalam mulutnya lalu memberikan jawaban, “mager keluar gue. Udah enak di rumah juga pokoknya.”
“Kulkas banyak lho bahan makanan, kenapa enggak masak aja sih? Ntar lo kalo keseringan makan mie, bisa usus buntu. Biaya operasi usus buntu mayan lho. Bisa kali buat beli iPhone.”
Jefian menatap Cakra sanksi, “gue heran deh sama lo, Bang. Duit lo tuh banyak, tapi kayaknya ada aja yang keluhin kalo lo kekurangan uang. Mobil Lo mobil mewah, rumah lo gede kayak istana gini, trus kerjaan lo juga gajinya enggak sedikit, njirr! Bagian mana lagi yang lo bilang kekurangan duit? Gue malah curiga, lo nyewain kamar di rumah lo cuma gabut doang.”
Cakra terkekeh kecil, “kemarin gue beneran kepepet butuh duit banyak.”
“Buat apaan sih? Kepo gue!”
“Telen dulu mie lo tuh! Muncrat, gilak!”
Jefian mendelik kecil, “ngadi-ngadi lo. Ludah gue berkah, njir!”
“Bodo, Jef! Bodo!” Cakra berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Begitu ia akan menaiki anak tangga, ia melihat Azura turun dengan membawa segelas air.
“Lho, balik lo, Kak?”
Cakra meringis kecil, “em, gimana ya? Kerjaan gue diundur, jadi daripada gue nganggur di sana mending balik.”
Azura hanya mengangguk paham dan kemudian berjalan menuju dapur. Baru saja Cakra akan kembali pergi ke kamarnya, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Eh, Jef! Besok gue balikin power bank lo, ya? Gue charger dulu.”
Jefian menatapnya dari arah sofa, “ambil aja buat lo, Bang. Gue gampang, masih punya banyak. Kalo enggak ada ya beli lagi. Jangan kayak orang susah.”
“Eh, buset! Gue tau, ya! Lo tuh tajir-melintir tapi enggak gitu juga, Bambang!”
“Sejak kapan nama gue jadi Bambang? Ganteng gini, masa namanya Bambang?!”
Cakra mendelik tajam, “gue balikin besok pokoknya.”
“Terserah lo aja dah. Mau dibalikin kek, mau dibuang kek. Mau digadein kek. Bodoamat!” balas Jefian acuh dan kembali memakan mie miliknya.
Cakra yang kesal pun berjalan pergi, menuju kamarnya. Tak lama kemudian, Azura datang dari arah dapur dan duduk di samping Jefian. Melihat ada yang duduk di sampingnya, Jefian menoleh dan kemudian menawarkan mie pada gadis itu.
Azura menggeleng dan menatap Jefian serius, “kenapa lo?” tanya Jefian. “Gue lagi enggak pengen ngewe sama lo. Lagi enggak napsu.”
Azura mendelik sinis, “yang pengen juga siapa, njirrr? Gue mau tanya hal penting sama lo.”
“Yodah, apaan?”
“Tengah malem kemarin, yang nelpon lo siapa?”
Jefian terlihat berpikir sejenak dan kemudian mengangkat bahunya acuh, “bokap gue.”
“Bokap? Yakin lo? Pasti cewek yang biasanya ngewe sama lo, 'kan? Ngaku sama gue!” tuduh Azura.
“Kagak bohong gue, nyet. Beneran. Enggak percaya cari aja HP gue di kamar, periksa sendiri.”
Azura berdecak kecil, “kalo udah masuk kamar lo, gue enggak yakin bisa keluar cepet.”
Jefian meletakkan mangkuk mienya di atas meja dan menghadapkan tubuhnya ke arah Azura yang kini memasang wajah kesal. “Jadi? Mau lagi?” tanyanya.
“Jefian anjing! Enggak ya!” Azura menarik rambut Jefian dengan kasar hingga pemuda itu mengaduh kesakitan. “Eh, eh! Anjing! Sakit, goblok!”
“Huwaaaaa!”
“Woi, lo berdua ngapain sih?”
Keduanya pun menoleh dan mendapati Cakra masih dengan balutan pakaian kerjanya telah berada di anak tangga paling bawah dengan napas terengah-engah. Apakah ia berlari kemari?
“Ngapain lo, Bang?” tanya Jefian.
“Gue belum sampe kamar, udah denger kalian berantem. Ngapain sih?” tanya Cakra kesal.
“Oh, enggak kok. Lagi latihan aja.” Jefian menjawab.
Cakra menautkan alisnya seolah bertanya, “latihan?”
Azura menatap Jefian dengan tatapan memperingatkan. Melihat itu, Jefian makin iseng. “Ya, biasalah, apa sih yang dilakuin cowok sama cewek berduaan sampe teriak-teriak? Kita lagi lat—ump!”
Azura langsung membekap mulut Jefian dan menatap Cakra yang kini menatap mereka dengan tatapan curiga. “Kalian ngapain aja selama gue tinggal seharian ini?” tanya Cakra curiga.
“Latihan drama, Kak. Ada lomba antar kelas gitu. Kita rebutan peran makanya kita praktek. Hehe ....” jawab Azura dengan nada gugup.
Jefian memutar bola matanya jengah dan menatap Azura dengan tatapan kesal. Seakan menyuruh gadis itu untuk melepaskan bekapannya. Namun, Azura tentu saja mengabaikannya.
“Bener?” tanya Cakra lagi.
Azura mengangguk, “beneran. Nih, makanya gue Jambak nih si anak monyet. Soalnya peran yang gue pengenin tuh peran cewek yang diselingkuhin. Nah, nih anak monyet gue jadiin pelampiasan aja. Biar tambah dapet perasaan karakternya.”
Cakra mengangguk paham, “jambak yang keras. Biar terlampiaskan perasaan karakter yang lo mainin. Oke?” ucap Cakra dengan iseng. Azura mengangguk senang dan kemudian Cakra berlalu pergi menuju kamarnya lagi.
Setelah memastikan Cakra sudah pergi, Jefian langsung menjilat telapak tangan Azura hingga gadis itu tercekat kecil dan langsung menarik tangannya.
”Pinter juga lo ngasih alasan,” ucap Jefian.
“Kak Cakranya aja yang bego. Makanya gampang dibegoin.”
Jefian tertawa geli, ”iya sih. Dianya aja yang bego, makanya gampang dikibulin. Buktinya dia aja enggak nyadar tadi pagi waktu ngetuk kamar gue. Hahaha ....”
Azura menatap Jefian serius, “itu bahaya. Kalau ketahuan, bisa dilaporin ke nyokap gue. Bisa abis gue diomelin. Pokoknya kita harus lebih hati-hati lain kali,” ucapnya.
Jefian menyeringai, “jadi ada lain kali, ya?”
Azura menatap Jefian kesal lalu sejurus kemudian mengubah tatapannya menjadi tatapan menggoda. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Jefian yang masih menyeringai, “memangnya lo enggak mau ngelakuin itu sama gue lagi? Gue inget lho, kalo lo bilang main sama gue tuh enak banget. Yakin, ada yang bakal muasin lo kayak gue?” Azura menyentuh telinga Jefian dan kemudian tangannya bermain ke kancing piyama Jefian.
Jefian langsung menangkap tangan nakal gadis itu dan menariknya semakin mendekat. Bahkan Azura bisa merasakan deru napas pemuda itu di wajahnya. Keduanya saling menatap hingga Jefian mendorong Azura mengenai ujung sofa.
“Lo inget ’kan bagaimana liarnya gue kalo di atas lo? Apa perlu gue ingetin lo bagaimana kencengnya lo ngedesah gara-gara gue?” tanya Jefian.
Azura memutar bola matanya jengah, “gue juga inget kalo apa yang kita lakuin enggak boleh libatin perasaan. Jadi, mending lo minggir karena gue mau tidur. Besok sekolah.” Azura mendorong Jefian menjauh dan kemudian membawa gelasnya yang telah berisi air mineral lalu berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Jefian yang mengumpat kecil.
“Sialan. Malah horny gue!” gerutu pemuda itu.
°•° To be Continued °•°
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDS WITH BENEFITS ✔
Storie d'amoreUsai dikhianati oleh pacarnya, Azura meyakini bahwa sekarang tak ada lagi namanya hubungan yang benar-benar murni karena cinta. Hubungannya yang telah begitu lama ia jalin dengan pacarnya harus rusak karena kebodohan pemuda itu yang dengan seenaknya...