FWB : 09

7.6K 187 1
                                    

Friends with Benefits °•° Part 09 by girlRin


Keesokan harinya, Azura keluar kamarnya sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Begitu ia akan pergi, ia mendengar suara Jefian memanggilnya dari dalam kamar. Gadis itu menoleh dan mendapati pintu kamar pemuda itu sedikit terbuka.

“Oi, babu! Sini bentar!”

Sambil mengumpat kecil, Azura berjalan menuju kamar Jefian. Ia buka perlahan pintu kamar pemuda itu dan melotot tak percaya bagaimana keadaan kamar pemuda itu. Sampah camilan serta kaleng minuman berserakan di lantai bahkan selimut tergumpal di kolong meja.

“Eh, udah rapi aja lo.”

Azura menatap Jefian yang masih memakai baju tadi malam. Sepertinya ia baru bangun.

“Lo baru bangun?” tanya Azura tak percaya.

Jefian mengangguk, “beresin kamar gue, ya? Lo 'kan babu gue. Pokoknya harus sudah rapi begitu gue keluar dari kamar mandi. Oke? Enggak ada bantahan.”

Azura mendelik dan mengumpat pelan begitu Jefian seenak jidatnya meninggalkannya dengan keadaan kamar berantakan sedangkan ia malah enak-enakan mandi.

“Memang mirip kandang babi,” gerutu Azura.

Dengan perasaan terpaksa, mau tak mau Azura mulai merapikan kamar Jefian. Ia memungut semua sampah dan memasukkannya ke dalam bak sampah. Ia bahkan melipat selimut yang berantakan dan mulai menyemprotkan pengharum ruangan di sana. Butuh sekitar dua puluh menit ia membersihkannya dan si Jefian belum juga keluar begitu Azura selesai. Merasa lelah, Azura pun duduk di atas kasur sambil menghidupkan AC.

Beberapa saat kemudian, Jefian keluar dengan hanya berbalutkan handuk di pinggang menutupi bagian bawahnya. Jefian berjalan santai menuju lemari pakaian dan mengabaikan fakta bahwa ada seorang perempuan di dalam kamarnya dan ia justru malah tak peduli memamerkan tubuh bagian atasnya yang sialnya menurut Azura sangat seksi.

“Duh, mana nih kolor gue?”

Azura merona begitu mendengar ucapan Jefian. Gadis itu langsung berjalan pelan menuju pintu, bermaksud keluar jika saja Jefian tak berbalik dan mendapatinya menyelinap seperti maling.

“Eh, gue lupa ada lo. Sini, cariin kolor gue. Lo 'kan babu gue,” ucap Jefian.

“Enggak gitu juga konsepnya, setan!” balas Azura.

“Yang babu siapa?”

“Tch, gue!”

“Jadi, babu kudu dengerin kata siapa?”

“Majikannya! Iya, gue cariin!” Dengan dongkol, Azura berjalan menghampiri lemari pakaian Jefian dan mulai mencari celana dalam untuk pemuda itu. Jefian sendiri hanya berdiri di belakang gadis yang sedang menggerutu sambil mencari celana dalam miliknya.

“Warna hitam merek Calvin Klein. Gue enggak mau make yang lain!”

“Sok banget lo mau make merek Calvin Klein segala!” balas Azura ketus.

Jefian tersenyum sombong, “oh jelas dong. Gue ’kan tajir. Semua barang-barang gue tuh bermerek,” balasnya.

Azura berdecih dan kemudian mengambil sebuah celana dalam yang diminta oleh Jefian tadi. Dengan wajah merona, Azura menyerahkannya sambil mengalihkan pandangannya.

“N–Nih! Cepetan. Gue mau berangkat sekolah!” ucapnya gugup.

Melihat bagaimana Azura merasa malu dan gugup, Jefian muncul ide jahil. Ia ambil celana dalam itu, tapi begitu Azura bersiap pergi, ia langsung menarik gadis itu dan mengukungnya di antara lemari dan dirinya.

“Bangke! Minggir! Gue udah nyariin kolor lo! Gue mau ke sekolah!” ucap Azura panik.

“Baru nyariin doang, belum gue suruh makein.”

Azura terbelalak tak percaya begitu mendengar ucapan Jefian. Nih cowok emang bayi apa kagak bisa make kolor sendiri? Batinnya kesal.

“Jef, please dong. Gue mau berangkat sekolah. Gue belum ngerjain PR. Hari ini kudu dikumpulin pagi banget. Gue mau nyontek punya temen gue. Please ya? Lo kalo mau ngerjain gue nanti aja. Ini hidup mati gue. Kalo nilai gue jelek, gue bisa kena hukum. Please! Ya? Ya?”

Jefian menyeringai, “kenapa gue harus ngabulin permainan babu kayak lo? Gue ’kan majikannya.”

Azura berdecak kecil. Otak kecilnya mulai memikirkan cara agar bisa kabur. Ia bisa saja menendang selangkangan pemuda itu, tapi kalau dalam posisi begini, agak rawan. Bisa saja nanti pemuda itu marah dan ia akan dibalas berkali-kali lipat.

“Kenapa? Gosah mikirin ide aneh buat kabur. Kalo gue nyuruh lo bolos hari ini pun, lo kudu nurut. Kalo enggak rahasia lo bak—” Jefian tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Azura tiba-tiba saja memajukkan wajahnya dan mendekatkannya ke telinga pemuda itu. Dalam posisi ini, Jefian bisa merasakan aroma vanila menguar dari tubuh gadis itu. Mungkinkah aroma sabun mandinya? Batin Jefian bertanya-tanya.

“Jef, nanti aja.” Suara Azura yang terdengar mengalun di telinga Jefian terdengar begitu lembut dan lemah. Seperti mengundang pikiran-pikiran kotor untuk menyuruh Jefian melakukan hal-hal aneh pada gadis di dalam kungkungannya itu.

Jefian langsung melepaskan Azura dan mencoba menetralkan perasaannya. “Nanti siang tungguin gue di halaman belakang sekolah. Kita bolos. Lo enggak boleh nolak.”

Azura mengangguk cepat. Terserah yang penting ia bisa segera kabur dari kamar Jefian. Berada di dekat Jefian apalagi dengan keadaan pemuda itu sedang toples benar-benar buruk. Seakan mendapatkan izin untuk pergi, Azura langsung berlari keluar kamar Jefian. Meninggalkan pemuda yang kini sedang menarik napas panjang.

“Sialan, aroma badan dia masih kerasa.”

Lain Jefian, lain pula Azura. Gadis itu kini tengah duduk di dalam taksi yang sedang membawanya ke sekolah. Sedari tadi, ia mencoba menghilangkan bayangan bagaimana seksinya tubuh atas Jefian. Kalau boleh jujur, mungkin menurut Azura tubuh Jefian lebih bagus daripada tubuh Janaru yang ia lihat di video tadi malam yang dikirimkan oleh Azalea.

“Astagaaaa! Gue kenapa sih!” gerutu Azura.

Supir taksi yang sedari tadi hanya diam menyaksikan keabsurdan Azura pun bersuara, “kenapa, Mba? Banyak masalah, ya? Gapapa, hidup tuh penuh masalah. Namanya manusia pasti selalu diuji sama masalah. Kita harus bisa terus berusah—”

“Pak, diem deh. Tambah pusing saya!” balas Azura memotong ucapan si supir taksi.

“Lho, saya cuma nasehatin aja kok, Mba. Namanya juga orang tua, udah sering minum asam garam kehidupan pastinya saya lebih paham. Makanya saya nyoba nyemangatin anak-anak muda kayak Mba gini.”

Azura berdecak kecil, “tapi saya tambah pusing dengernya. Bapak diam aja, ya? Puter musik aja gapapa deh, mending daripada saya diceramahin. Pusing, beneran.”

Mendengar respon dari Azura yang terdengar kurang sopan itu, si supir taksi memilih diam dan mulai memutar musik sesuai ucapan gadis itu tadi. Dalam hati ia menyayangkan bagaimana generasi muda sekarang begitu minim akan sopan santun pada yang lebih tua. Beda si supir, beda Azura. Gadis itu kini sedang memijat keningnya pertanda ia pusing. Ia benar-benar mempertanyakan apakah ia harus pindah dari rumah Cakra atau tetap di sana dan harus sabar menghadapi Jefian yang kelakuannya benar-benar membuatnya panas-dingin?

Tuhan, Azura kudu ngapain?



°•° To be Continued °•°

FRIENDS WITH BENEFITS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang