Prolog

436 22 0
                                    

Halo, assalamu'alaikum!

Selamat datang di cerita baru aku 🥰

Semoga nyaman ❤️

Selamat membaca 💐

Mau nanya dong, kalian tau cerita ini dari mana?

***

Gema takbir yang berkumandang menjadi instrumen saat Hari Raya Idul Fitri. Opor ayam, ketupat, serta kue kering yang biasa disebut nastar memenuhi meja-meja.

Setelah Halalbihalal dengan kerabat serta tetangga, Abbas sekeluarga kembali ke kediamannya.

Para orang tua mengeluarkan amplop dengan berbagai macam karakter yang berbeda, membuat anak-anak yang berada di rumah ini berpekik senang. Tidak dengan salah satu anak laki-laki yang malah duduk santai dengan toples nastar di pelukannya.

Anak laki-laki itu hanya diam mengamati abang beserta sepupunya bersorak heboh saat membuka amplop yang mereka dapat. Ia mengunyah pelan kue kering di genggamannya.

"Hakam, sini! Gak mau THR, nih?" tawar tantenya. Karena tidak enak untuk menolak, akhirnya Hakam kecil memilih turun dari kursi setelah menyimpan toples nastar itu ke meja.

Hakam sudah berdiri di depan tantenya yang tengah duduk lesehan, lalu mengadahkan tangan kecilnya pada perempuan berperut besar itu.

Nimra yang merasa gemas dengan tingkah keponakannya langsung saja mencubit gemas pipinya yang chubby.

"Nih, THR buat Hakam," Nimra menyerahkan amplop.

Hakam meringis canggung, Nimra yang menyadari itu terkekeh geli. Kemudian ia bangkit untuk menghampiri suaminya serta kakak iparnya yang sudah lebih dulu duduk di sofa bersama mertuanya.

"Anak kamu Mbak, anti cewek banget, ya." kekehnya pada Jian yang kebetulan duduk di sebelahnya. "Padahal, aku tantenya, lho..." aduannya itu membuat orang yang berada di sofa terkikik geli.

Keluarga itu tengah berkumpul di rumah Abbas Bilfaqih dan Fida Hadiya. Orang tua dari Anum Benazir, Azhar Bahadar, dan si bungsu Ashraf Baasim. Mereka telah merayakan lebaran tahun lalu di rumah mertua masing-masing, dan untuk tahun sekarang merayakannya di sini.

Nimra mengusap perutnya yang buncit, ia tengah mengandung buah hatinya yang ketiga. "Kalo bayi ini lahir, terus jenis kelaminnya laki-laki, berarti Kak Rubi cucu perempuan abah satu-satunya, dong." Ungkapan Nimra mampu membuat gadis kecil yang mengenakan gamis berwarna pink itu menoleh girang.

"Iya, ya. Aku jadi princess di antara pangeran-pangeran." akunya bangga. Lagi-lagi ruangan itu dipenuhi oleh tawa ringan yang mengalun indah, setelah acara halalbihalal yang menguras air mata.

Abbas yang duduk di sebelah Fida, menatap Ashraf yang tengah mengusap lembut perut istrinya.

"Kamu pulang kapan, Nak?" tanyanya.

"Minggu depan, Bah. Soalnya Jayed sama Kemal udah mulai belajar." jawabnya. Lalu diangguki Abbas, ia membuka mulutnya kala Fida menyuapkan sepotong kue.

"Kalo, kamu Azhar?" Setelah menelan kunyahannya, Abbas bertanya pada putra keduanya yang sedang merangkul Jian -istrinya.

"Sama, Azhar juga pulang minggu depan. Shaka sama Hakam juga udah mulai masuk sekolah." jedanya, kemudian menyenggol lengan kakak sulungnya. "Nah, kalo Mbak, pulang kapan-kapan juga bisa kali? Soalnya kan yang paling deket dari sini." lanjutnya tertawa ringan.

Anum memukul paha adiknya, "Enak aja! Kita juga punya kesibukan, iya gak Mas?" Ia melirik suaminya yang berada di sisinya.

Emran mengangguk, mengiyakan saja pertanyaan sang istri seraya tersenyum simpul.

Fida geleng-geleng kepala melihat tingkah anak-anaknya. "Jangan sok sibuk kalian, nggak kasian sama Nyai dan Abah yang kesepian di sini?"

Abbas terkekeh, lalu mengecup kepala istrinya. Kemudian ia beranjak dari sofa menghampiri sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di lantai beralaskan karpet.

"Abah mau nyamperin cucu-cucu abah dulu," pamitnya.

Abbas berbaur dengan anak-anak itu, ia mengajak salah satu cucunya yang hanya berdiam diri seraya mengamati itu untuk bergabung.

Pria itu berdehem, dan mulai mengabsen cucunya diurutkan dari yang tertua terlebih dahulu.

"Shaka?" sebutnya dengan suara yang terdengar berat.

Anak laki-laki bergamis biru itu mengangkat tangan kanannya. "Hadir!"

"Hakam?"

Anak laki-laki bergamis putih serta sorban yang melilit lehernya itu menjawab, namun tidak se-semangat abangnya. "Hadir."

Abbas tersenyum, kemudian ia kembali menyebutkan cucunya yang ketiga.

"Jayed?"

"Hadir, Bah!" jawab bocah berambut keriting itu, ia memakai koko berwarna hitam.

"Rubi?"

Merasa namanya disebut, gadis kecil itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga tubuhnya itu oleng ke arah Hakam jika saja Abbas tidak tanggap.

"Hadiloh, Abah." ucapnya cadel membuat Abbas mendaratkan cubitan gemas pada pipi tembamnya.

"Kemal?"

"Hadil," jawab balita itu mengikuti apa kata Jayed yang sedang memangkunya.

"Udah lengkap semuanya, ya."

"Ayo, wudhu. Kita sholat dzuhur berjamaah." sambung Abbas seraya bangkit diikuti cucu-cucunya.

Gadis kecil itu menarik tangan sepupu yang berada pada jangkauannya.

"Ayo, Hakam! Kita wudhu."

Namun, respon Hakam mampu membuat orang-orang di sekitarnya terkekeh.

"Nggak boleh pegang-pegang, Rubi. Bukan mahrom."

***

Gimana-gimana? Ada impian membangun rumah tangga macam keluarga Abbas nggak?

Jangan lupa vote dan komennya ya 😉

Jazakumullah Khairan katsiir ❤️

Kalian pembaca dari kota mana saja?

***

Kesan setelah kalian baca prolog cerita ini?

Salam manis,

Cumachan

BAHTERA HARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang