"Terima kasih banyak, Hakam,"
"Sama-sama, Mr."
Setelah selesai dengan urusannya. Hakam pamit undur diri dari ruangan Mr.Fikri setelah menerima tugas-tugasnya.
Kaki panjangnya membawanya untuk menelusuri tiap lorong kampus yang panjang. Dan berhenti di sini. Di dekat ribuan mahasiswa baru yang tengah berkumpul di lapangan yang sangat luas.
Hakam tak yakin bisa menemukan sosok yang dicarinya. Ia pun memutuskan untuk putar balik ke tempat parkiran.
Tepat ketika Hakam berbalik, ia langsung berhadapan dengan sosok yang dicarinya. Gadis itu tersenyum singkat tanpa mau menatapnya lama apalagi menegurnya.
"Itu sepupu lo itu, kan?" tanya temannya.
Rubi mengangguk setelah melewati Hakam. "Iya,"
Gadis yang lebih pendek dari Rubi itu bertanya kembali, "Enggak lo sapa?"
Rubi mengernyit, "Ngapain? Lo gak liat dari tadi banyak yang merhatiin dia?"
Sebelum temannya itu kembali bersuara. Sebuah teriakan dari panitia ospek langsung membuat keduanya bergegas.
Hakam meneruskan langkahnya ke parkiran. Ia yakin bahwa sepupunya akan baik-baik saja. Hakam sadar bahwa banyak pasang mata yang memperhatikannya. Ia tetap memasang wajah datar, dan mengangguk kecil ketika ada yang menyapanya. Kebanyakan adalah adik tingkat yang cukup mengenal Hakam karena dia mahasiswa yang dikenal karena dekat dengan Mr.Fikri.
Satu hal yang benar-benar baru disadari Hakam. Rubi perlahan terbukti menjauh. Ia dapar merasakannya dengan jelas. Atau, inikah jawaban dari Allah karena ia telah memilih jalan yang salah. Iya, Hakam sadar, ia terlalu mementingkan perasaan hingga ia lupa pada batasan-batasan ketika bersama Rubi.
Hakam segera beristighfar ketika mengingat ia pernah berduaan dengan Rubi di taman. Allah mungkin marah, karena ia terlalu mengejar cinta hambanya.
Matahari tertutup awan tebal, hingga siang ini terasa sejuk tanpa sinar yang biasanya menyengat kulit. Hakam menengadah ke langit. Menundukkan kepalanya sejenak untuk membuang napas, lantas masuk ke dalam mobil. Ia melemparkan ranselnya ke kursi samping kemudi.
Hakam melajukan mobilnya menuju rumah sahabatnya. Sebelum itu, ia mampir terlebih dahulu ke kedai bakso, berniat membelikannya untuk Mama Ejaz.
Suara pendingin ruangan, keripik yang dikunyah, serta perbincangan hangat antara Mama Ejaz dengan Hakam mengisi ruang tengah. Kaki panjang Ejaz dinaikkan ke atas sofa, suara kunyahan keripik itu berasal dari mulut Ejaz.
Ejaz merotasikan bola matanya saat mendengar pujian sang ibu untuk temannya. Ia memberikan ekspresi mual ketika Hakam menatapnya.
Wanita cantik itu menatap dua pemuda yang duduk berdampingan di sofa seberang. Jilbab merahnya sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Sudut bibirnya tertarik saat melihat pertikaian kecil mereka.
Setelah memakan bakso pemberian Hakam, mereka memutuskan untuk mengobrol santai di ruang tengah. Sebenarnya hanya Mama dan Hakam saja yang mengobrol, Ejaz seperti tidak dianggap.
Selesai dengan urusan perutnya, Ejaz menurunkan kakinya. Lantas ia pun bangkit, membuat Hakam langsung bertanya.
"Ke mana?"
"Mau renang, ikut gak?"
Hakam mengernyit, "Panas dong, renang jam segini?" katanya setelah melihat jam tangan.
"Pake sunblock dulu." balasnya.
Hakam turut bangkit, "Gue pinjem celana renangnya."
"Ya, udah, ayo!" ajak Ejaz, ia menoleh pada ibunya yang sedang menonton televisi. "Ma, kita mau renang." izinnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAHTERA HARU [On Going]
SpiritualKisah seorang laki-laki yang sedang berusaha memperjuangkan cintanya pada sepupunya. __________ Cerita ini murni karangan Author! Dilarang plagiat! Mohon maaf bila ada kesamaan dalam cerita ini. __________ Cover by : canva