10

96 12 0
                                    

Tak ada habisnya ketika kita membahas persoalan sengketa lahan dan perampasan lahan yang dilakukan tanpa alasan syar'i. Sudah jelas hal tersebut termasuk perbuatan ghasab dan zalim.

Sering sekali para penguasa menyuap pejabat agar dapat menguasai lahan dengan cara merampas, tidak peduli walaupun cara itu sangat merugikan orang lain.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188)

Masalah seperti ini tidak akan tuntas jika tidak diatur oleh syariat islam. Hanya syariat islam yang bisa memberikan perlindungan serta keadilan bagi seluruh umat manusia.

Itu kesimpulan materi kajian tadi yang dapat Rubi tangkap. Setelah berdiskusi santai sambil menikmati perjalanan pulang, Rubi, Hakam, dan Jian memilih untuk mampir terlebih dahulu ke pastry shop.

Aroma khas menusuk indera penciuman Rubi ketika ia membuka pintu. Senyumnya merekah lebar, rasa pusing-karena memang belum sembuh total- yang tadi hinggap kini menguap entah kemana.

Hakam dan Jian langsung memilih tempat duduk setelah memesan. Sedangkan Rubi, gadis itu menatap penuh binar pastry yang terpajang di etalase. Setelah puas, Rubi menyusul tante dan sepupunya.

"Doain ya, Rubi pengen punya toko kayak gini," ujarnya. Yang diaminkan Hakam dan ibunya.

Saat pesanan datang pun, Rubi seperti tidak pegal dengan bibirnya yang terus tersungging.

Hakam mengamati bagaimana cara Rubi menatap, dan memakan pastry tersebut. Rubi tampak detil mencecap rasa pada makanannya. Hakam menahan senyumnya. Hal itu disadari oleh ibunya.

"Kenapa Kak?"

Mendengar tantenya bersuara, Rubi mendongakkan kepalanya, menatap mereka berdua.

Hakam menetralkan ekspresinya. "Enggak, Mah." jawabnya singkat. Lain dengan sang ibu yang malah ikut menahan senyumnya.

Rubi kembali ke aktivitas awalnya seraya menatap dari ujung ke ujung ruangan bernuansa klasik ini. Ia mengambil foto dengan ponselnya untuk kebutuhan konten.

"Aku baru pertama kali ke sini, kayaknya ini bakal jadi tempat favoritku di kota ini, deh." kata Rubi.

Jian tersenyum mendengarnya. Lalu menatap putranya. "Idenya Hakam ini. Kayaknya dia pengen bawa kamu ke tempat-tempat yang Rubi banget, gitu loh." paparnya, seraya tersenyum jahil.

Hakam berdehem, dan mengalihkan wajah. "Kebetulan aja sekalian lewat." bebernya.

"Kan Ummah yang minta," sambungnya menatap sang ibu meminta persetujuan.

Jian mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengeluarkan kekehannya.

"Iya iya."

Rubi yang sedari tadi mengamati kini ikut menyambung obrolan.

"Yang dimaksud Rubi banget itu, kayak gimana, Kam?"

Bravo Hakam!

***

Jangan lupa dengan fakta bahwa jalanan Ibu Kota yang senantiasa macet. Suara lantunan sholawat mengalun di dalam mobil guna menghilangkan suntuk.

Jian membenarkan posisi Rubi yang tengah tidur dengan posisi duduk, di lehernya terdapat bantal donat. Pusingnya kembali terasa katanya.

BAHTERA HARU [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang