Selamat membaca 💐
Jangan lupa vote dan komen sebagai dukungan cerita ini dan penulis 🤍
***
"Lagi ngapain, Mah?"
Hakam mengulurkan tangan, meraih punggung tangan sang ibu untuk dicium dengan hidungnya.
Jian tersenyum mengusap kepala anaknya. Lalu mempersilahkan duduk di meja bar bersamanya.
Rubi melirik sekilas sosok yang baru datang itu. Tangannya sibuk menipiskan adonan menggunakan rolling pin.
"Liatin Rubi bikin pastry, Ummah tinggal duduk manis aja katanya."
Hakam mengangguk singkat, lantas menuangkan air ke gelas dan meneguknya.
"Abis dari mana?"
Mendengar pertanyaan itu, Hakam mengangkat alis sebelah kanan yang terdapat tahi lalat di atasnya, sambil menatap ke posisi Rubi yang terhalang permukaan gelas.
"Main," jawab Hakam setelah meletakkan gelas.
Rubi mencebik, ia mulai menumpuk adonan bertekstur lembut itu. "Mana ada main bawa ransel."
"Main yang bermanfaat." balas Hakam cepat.
Jian terkekeh kecil mendengarnya. Wanita berjilbab itu kini tengah sibuk membaca buku resep milik keponakannya.
Gerakan tangan Rubi terlihat luwes membentuk adonan. Siapapun yang melihatnya pasti dapat menebak bahwa Rubi lihai dengan urusan tata boga.
Kening Hakam mengerut saat tangan Rubi menuangkan selai stroberi. "Selai cokelat gak ada?"
Rubi menjauhkan tangannya, "Lo mau?" tanyanya hingga mendapat delikan mata dari sepupunya.
"Nanya doang." cetus Hakam.
Kekehan kecil Rubi terdengar, ia membenarkan posisi kerudungnya yang sedikit turun, hingga membuat sisa tepung di tangannya menempel pada sisi kerudungnya.
"Kalo mau, cokelatnya ada di kulkas."
Rubi menahan tawanya, saat melihat Hakam beranjak menuju kulkas dengan wajah tertekuk.
Matanya menelisik seisi kulkas yang penuh untuk mencari keberadaan cokelat. Setelah menemukan, di ambilnya cokelat tersebut dan di simpan di atas meja.
"Gimana?" Hakam menoleh sejenak pada sepupunya.
"Lo potong kotak-kotak cokelatnya. Terus simpen di sini," Rubi menyerahkan panci kecil untuk tempat cokelat.
"Oke." Hakam langsung mengambil pisau dan memotong-motong cokelat.
"Nih, udah!"
Hakam menghela napasnya, menepuk-nepuk tangannya ringan dan berbalik hendak pergi ke tempat asalnya tadi.
Namun diurungkan saat Rubi memanggilnya.
"Heh! Mau ke mana lo?" Hakam mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menunjuk ke tempat sebelah Ibunya. "Mau duduk,"
"Enak aja!" Rubi berkacak pinggang dengan apron yang masih melekat di tubuhnya, matanya menyipit, berusaha mengintimidasi sepupunya. "Bantuin!"
Jari telunjuk Hakam mengarah ke dadanya, lalu kedua alisnya menyatu. "Gue?"
Rubi mendengus, dan melengos untuk kembali sibuk dengan aktivitasnya.
"Kalo gak bantu, gak ada rasa cokelat."
Final!
Dengan berat hati, Hakam turun tangan untuk membantu sepupunya. Namun, bukan Hakam namanya jika diam dan hanya menurut saja, terkecuali kepada ibundanya. Ia malah membuat Rubi terus-menerus mengeluarkan omelannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHTERA HARU [On Going]
SpiritualKisah seorang laki-laki yang sedang berusaha memperjuangkan cintanya pada sepupunya. __________ Cerita ini murni karangan Author! Dilarang plagiat! Mohon maaf bila ada kesamaan dalam cerita ini. __________ Cover by : canva