17

45 8 0
                                    

Halo, Assalamualaikum!

Kangen cerita ini nggak?

Selamat membaca! Jangan lupa vote dan komen sebagai dukungan.

***

"Kenapa Kam?"

Buya melontarkan pertanyaan, hingga seluruh pasang mata yang berada di ruangan ini menatap Hakam.

Suhu di ruangan berinterior putih ini terasa dingin, disebabkan oleh pendingin ruangan juga tatapan bingung orang-orang yang menurut Hakam sangat mengintimidasi.

Hakam diam tapi tidak begitu dengan batinnya. Ia mampu menekan diri, hingga sebuah gelengan pelan serta senyum tipis ditunjukkan sebagai ekspresi terbaiknya.

"Enggak, Hakam mau gabung juga."

Mendengar itu, orang tua Hakam menghela napas.

Mereka kembali melanjutkan perbincangan. Entah sudah sampai mana. Hakam baru saja tiba, sengaja ia pulang lambat dari masjid, bahkan ia melewatkan makan malam bersama.

Hakam menunduk, tangannya melepaskan gelang kaokkah yang melingkari pergelangannya, lantas memainkannya seperti tasbih.

Telinganya tetap mendengarkan Abi yang sedang berbicara. Sepertinya belum masuk ke pembicaraan inti.

"Kakak, kalau mau makan dulu, boleh kok." Jian berbicara pelan, menatap Hakam yang perlahan mengangkat kepalanya. Ia mengusap pelan punggung anaknya yang berada di sebelahnya

"Iya, Ummah. Nanti aja," balas Hakam lembut.

Sebungkus makanan manis khas daerah Abi terulur di depan wajah Hakam. Reflek ia melihat pemilik tangan yang terulur itu.

"Aaa... Mau dodol gak?" Rubi yang duduk di sofa single mencoba menawari Hakam, tanpa mengalihkan fokus perbincangan orang tua.

Decakan Hakam keluar, walaupun pelan tapi masih bisa didengar Rubi. Hatinya menyuruh untuk merespon seperti itu. Bahkan ia sampai mengalihkan pandang.

"Ya udah sih, kalo gak mau." Rubi menggerutu.

Hakam bingung dengan dirinya. Ia harus berekspresi bagaimana? Senang? Kecewa?

Seharusnya di saat sepupu akan menjalin hubungan serius bersama pasangan hidupnya, reaksi kita tentu ikut senang kan? Tapi, ini beda bagi Hakam.

"Nunggu Rubi libur, atau beliaunya yang suruh datang ke sini?" Tiba-tiba arah pembicaraan sudah sampai di inti. Entah berapa lama Hakam diam bersama lamunannya.

Hakam melirik sepupunya yang tampak ogah-ogahan. Pandangannya mengedar mencari sosok abangnya.

"Abang ke mana, Mah?" tanyanya saat tak menemukan yang dicari.

"Ummah suruh beli buah-buahan."

"Rubi belum siap ah, Bi."

Hakam beralih ke Rubi ketika mendengar suara rengekannya.

"Iya, Abi tau. Lagian kamu masih kecil, harus lebih banyak belajar lagi." Abi mengambil gelas kaca di meja, lalu meminum air putih itu dalam 3 tegukan. Terdengar suara gelas yang terantuk meja, kemudian Abi kembali berbicara. "Rencana Abi hanya ingin mengenalkan beliau dengan anak gadis Abi, tentu harus melalui Abi, tetap tidak boleh melanggar hukum syara."

"Ya udah kalo gitu taun depan aja ketemunya, mungkin nanti Rubi udah siap."

Abi tersenyum tipis pada anaknya. "Boleh taun depan nikahnya, tapi secepatnya kita harus ketemu dulu."

BAHTERA HARU [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang