19

21 5 0
                                    

Di tengah perjalanan pulang, Hakam tetap merasa berat hati. Otaknya seolah mengingatkan ia pada sesuatu. Tapi entah apa.

Beberapa titik jalanan terdapat genangan air yang bisa menyulitkan pejalan kaki. Apalagi ketika ada kendaraan yang melaju kencang tidak memikirkan nasib mereka.

Hakam memukul setir mobil tatkala ingat. "Astaghfirullah..." ucapnya merasa bersalah.

Ketika melihat rambu jalan dengan panah melengkung, Hakam memutar kemudinya untuk berbalik arah.

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk dirinya sampai di sebuah rumah yang tampak sederhana ini dengan cat berwarna abu-abu. Halaman depannya terdapat satu pohon mangga besar yang dapat menghalau sinar matahari, juga ditumbuhi tanaman bunga berwarna-warni, rumah itu di kelilingi oleh pagar kayu berwarna putih. Sedangkan Hakam memarkirkan mobilnya di luar halaman.

Hakam menduduki kursi yang tersedia di teras yang menghadap langsung ke taman kecil itu. Di sebelahnya sudah ada laki-laki paruh baya yang sangat dihormatinya.

"Maaf, Pak, saya ke sini mendadak, pasti mengganggu. Saya juga tidak bawa apa-apa." lirihnya tak enak hati.

Laki-laki dengan penutup kepala hitam itu tersenyum. "Tidak apa-apa, Hakam. Tenang saja."

Hujan sudah reda, tinggal menyisakan tetes demi tetes yang jarang. Suasana sejuk asri ini jarang dirasakan Hakam. Pemuda berpakaian kasual itu tampak menikmatinya.

Menanyakan kabar sudah menjadi kebiasaan mereka ketika bertemu. Walaupun tiap satu pekan sekali mereka selalu bertemu karena agenda wajib.

Laki-laki itu menyeruput secangkir teh hangat yang diletakkan di meja bundar kecil di tengah-tengah mereka. Ia menatap pemuda di hadapannya yang termenung.

"Ada apa?" Hakam langsung beralih ke sumber suara.

Helaan napas panjang Hakam terdengar. Hendak membuka mulut namun urung, karena seseorang datang membawa nampan dan menaruh secangkir teh di meja bundar itu.

"Loh? Uminya mana?"

Gadis berjilbab marun itu mengendikkan bahunya. "Lagi masak katanya," setelah mengucapkan itu ia kembali masuk ke rumah.

Lelaki paruh baya itu terkekeh, seolah paham dengan maksud istrinya. Kemudian ia mempersilakan pemuda dihadapannya yang sedang menatap lurus.

"Silakan, Hakam. Diminum dulu."

Hakam mengangguk sopan, ia menarik cangkir itu. "Terima kasih, pak. Saya terima ya." ucapnya kemudian mencecap minuman yang masih panas itu.

"Pak ... Saya mau tanya," Hakam menjeda ucapannya, ia melihat Pria itu yang balas menatapnya. "Apa tanggapan bapak, ketika seseorang mau menikahi sepupunya di zaman sekarang?"

Bapak itu terdiam, lantas bergumam panjang. Ia menatap selidik Hakam, hingga yang ditatap sedikit salah tingkah.

"Kalo dari pandangan islam sih, boleh, ya. Karena kamu juga tahu, sepupu itu bukan termasuk mahram. Tapi, dari segi medis, kemungkinannya 6% si keturunan akan kelainan."

Ada jeda di sana, untuk melihat bagaimana respon Hakam.

"Dan karena kita hidup di zaman sekarang, lebih baik cari saja calon dari keluarga lain, agar mempererat tali silaturahmi." sambung pria sebagai gurunya Hakam itu.

Ia melirik Hakam yang tengah menganggukkan kepalanya pelan.

"Gimana, Hakam?"

Helaan napas Hakam terdengar, "Lebih baik tidak usah diperjuangkan ya, Pak?" lirihnya.

Bapak itu tersenyum tipis. "Kamu yang tahu jawabannya."

Hakam mengerjap, ia menatap gurunya yang tengah menatapnya lurus. "Eh-Emmm..." Ia kikuk hendak merespon seperti apa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BAHTERA HARU [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang