7

115 15 0
                                    

Hakam terbangun oleh suara dering dari handphone-nya. Mulutnya yang akan menggerutu urung seketika, saat melihat nama yang tertera di layarnya. Matanya menyipit berusaha menyesuaikan cahaya, tak lama ia langsung menggeser tombol berwarna hijau.

"Halo?" sapa Hakam sambil mengucek matanya yang berat. Ia masih dalam posisi berbaring.

"Lo udah tidur?" Hakam terdiam mendengar suara parau di seberang telepon itu. Ia mengerutkan keningnya, lalu menjawab. "Belum,"

"Gue mau minta tolong lo buat matiin AC di kamar gue, bisa?"

Suara lemah itu semakin membuat Hakam merasa kebingungan di saat dia masih mengumpulkan nyawanya. Ya, Hakam berbohong supaya Rubi tidak merasa bersalah.

"Gue demam, gak bisa ambil remot AC di meja belajar, lemes gue." sambung Rubi menjelaskan.

Hakam langsung membuka kedua matanya yang semula masih menyipit, ia lantas menyibak selimut dan bergegas bangkit dari kasur.

Saat meraih handle pintu, Hakam mematung sejenak. Ia hendak melontarkan pertanyaan, namun sebelum itu, Rubi segera berbicara sesuai dengan jawaban yang diinginkan Hakam.

"Gue masih pake mukena, pintunya gak dikunci."

"Oke,"

Sambungan terputus, Hakam membuka pintu kamarnya dan berjalan ke arah kamar Rubi. Lampu-lampu ruangan sudah dimatikan. Hakam mengecek jam pada ponselnya yang menunjukkan pukul 01.52.

Hakam sudah berdiri di depan pintu kamar Rubi. Terbesit rasa takut di hatinya. Setelah beberapa saat meyakinkan diri, Hakam masuk ke dalam kamar Rubi yang lampunya masih menyala terang.

"Bii?" panggil Hakam sambil menatap gadis yang tengah berbaring di kasur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, hanya bagian matanya saja yang terlihat.

Saat Hakam kian mendekat, suara desisan Rubi semakin terdengar karena menggigil, tubuhnya bergetar kecil.

Hakam langsung mencari remot dan mulai mengatur suhu pendingin ruangan itu. Ia tahu bagaimana Rubi. Gadis itu tidak mungkin berani menganggu penghuni rumah ini kecuali Hakam. Itu pun hanya di saat-saat dia benar-benar membutuhkan pertolongan saja.

Hakam mendekati ranjang untuk mengecek kondisi Rubi. Namun, desisan Rubi masih terdengar.

"Rubi..? Lo bisa denger gue?"

Dengan kondisinya yang setengah sadar, Rubi masih mampu menjawab walaupun hanya dengan gumaman panjang.

Hakam mengacak rambutnya, bingung setengah mati. Ia jadi merasa cemas melihat kondisi Rubi, padahal tadi sudah minum obat pikirnya. Ia ingin membangunkan Ummah tapi takut betulan mengganggu istirahatnya. Ingin meminta tolong abangnya, tapi... Arggh! Hakam malah sebal dengan pria itu yang menyebabkan Rubi sakit.

Hakam memejamkan matanya sesaat, lantas menunduk dan mengulurkan tangannya untuk mendaratkan punggung tangannya ke kening Rubi.

"Maaf Ya Allah..."

"Maaf Rubi, Maaf Ummah."

Setelah menggumamkan itu di dalam hatinya, Hakam langsung tersentak saat merasakan panas pada punggung tangannya yang menempel pada kening Rubi. Ia langsung menarik tangannya.

"Panas banget."

Hakam sedikit berlari setelah menyimpan remot AC di sebelah Rubi. Ia segera mengambil air hangat dengan wadah apapun yang dapat ditemukannya dengan mudah, beserta handuk kecil.

Tangannya terulur untuk mengompres kening Rubi dengan handuk basah.

Rubi bergerak sedikit, tidak mampu membuka mata.

Hakam mengamati Rubi, sejenak kepalanya menunduk. Bingung akan bertindak seperti apa lagi.

Menghela napas panjang. Hakam berdiri dari sisi ranjang Rubi, meyakinkan diri bahwa Rubi akan baik-baik saja.

"Gue ke kamar lagi, ya?" pamitnya, tanpa balasan.

Terakhir, sebelum menutup pintu, Hakam mematikan dahulu lampu kamar Rubi, setelah itu baru keluar.

Hakam kembali ke kamarnya dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Ia menghela napas sambil membetulkan posisinya hendak tidur kembali. Semoga saja ia tidak terlambat sholat subuh berjamaah.

***
Samar-samar suara adzan mulai masuk ke indera pendengarannya, sedetik kemudian disusul oleh suara adzan yang berasal dari ponsel Rubi.

Sambil menyesuaikan cahaya masuk ke retinanya, Rubi bergumam membaca doa bangun tidur.

Kepalanya ia tolehkan ke sebelah kanan ke arah nakas yang terdapat wadah berisi air yang kemungkinan sudah dingin. Tangan kanannya terangkat untuk menyentuh keningnya, mengambil handuk yang masih menempel. Ia tahu siapa yang mengompresnya semalam.

Rubi menyibak selimutnya, lantas menegakkan punggungnya untuk duduk. Kepalanya terasa ringan, dan tubuhnya kembali bertenaga, walau tidak sepenuhnya.

Ia menurunkan kedua kakinya, mengambil wadah dan handuk untuk disimpan ke tempat semula sekalian bersiap-siap melaksanakan sholat subuh.

Setelah sholat sunnah rawatib, sholat subuh, dzikir, dan tadarus dilaksanakan, Rubi bergegas turun ke bawah untuk mengisi tenaganya.

Kakinya menginjak anak tangga terakhir lalu berbelok ke arah dapur yang sudah ada sosok Ummah dan Mbok Laras dengan mukena yang masih melekat di tubuh mereka, sama seperti Rubi.

Rubi ikut membantu sekilas, selebihnya ia memilih duduk sambil mengamati dua wanita itu sembari menaruh kepalanya di lipatan tangan fi di atas meja.

Suara salam yang amat dikenal itu dijawab berbarengan oleh tiga perempuan itu, Jian langsung menyambut suami dan anak-anaknya yang baru pulang dari masjid. Biasanya Rubi akan mengekor di belakang Jian untuk menyalami pamannya saja.

"Rubi kenapa?" Azhar mendekati Rubi dan mengusap kepalanya yang tertutup kain mukena.

Rubi menoleh, lalu mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan pamannya. "Sedikit lemes," jawabnya.

"Kamu sakit?" Mendengar pertanyaan suaminya, Jian langsung mendekat ke arah keponakan dan suaminya.

"Rubi lagi sakit?" tanya Jian khawatir.

Rubi tersenyum tipis, "semalem aku demam. Alhamdulillah sekarang 'mah udah sembuh."

Mengingat itu, Hakam menatap tajam abangnya dalam diam. Mereka sudah duduk bersebelahan di meja makan.

"Gara-gara makan es krim, ya?" tanya Shaka. "Maafin abang ya?" pintanya memelas.

Jian menatap Shaka tajam seraya menggelengkan kepalanya.

"Setelah sarapan, minum obat ya?!" Setelah memerintah keponakannya, Azhar duduk di kursi tempat biasanya duduk.

"Iya Buya!"

***

BAHTERA HARU [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang