4

123 17 0
                                    

Assalamu'alaikum...

Jangan lupa vote dan komennya sebagai dukungan untuk penulis 🤍

Terima kasih banyak

Selamat membaca

***

Hakam beranjak ke meja belajarnya. Menarik kursi dan duduk. Ia meletakkan wadah berisi pastry buatan sepupunya. Senyumnya merekah, menatap makanan tersebut. Tangannya mengambil handphone yang tergeletak di sebelah laptopnya yang menyala.

Handphone-nya diangkat tinggi di atas wadah tersebut untuk memotretnya. Hakam melihat hasil fotonya, senyum tipisnya masih tersungging. Entah kenapa, rasanya Hakam ingin memposting foto tersebut di WhatsApp.

Setelah postingan gambar itu terkirim, Hakam mematikan layar handphone dan menaruhnya ke tempat semula. Tangan kanannya mengambil sepotong pastry dan menyuapkannya ke mulut setelah membaca basmalah.

Kepalanya mengangguk beberapa kali, merasakan cokelat yang meleleh di dalam mulutnya. Tangan kirinya menggenggam mouse, mengotak-atiknya untuk mengecek tugasnya yang terpampang di layar.

Ting!

Suara notifikasi dari handphone Hakam terdengar. Ia menolehkan kepalanya untuk melihat pesan yang muncul. Keningnya mengerut setelah membaca deretan kalimat tersebut. Lantas, langsung menyambar handphone tersebut untuk mengeceknya.

Hakam meringis pelan, "kenapa gue lupa privasi." cebiknya kesal.

Jempol Hakam menekan ruang obrolan dengan seseorang yang mengomentari postingannya. Ia membaca ulang kalimat tersebut.

Rubina
cieeee, baperr nih gueee
wa iyyaka, akhii
wkwkwk

Hakam mengusap wajahnya yang memerah. Ia berdesis, kemudian melihat kembali status yang dibuatnya. Sebuah foto pastry yang tadi diambilnya dengan caption jazakillah. Sesederhana itu padahal. Tapi entah kenapa mampu menghebohkan hatinya.

"Mau dihapus juga udah terlanjur,"

Akhirnya, Hakam mengabaikan pesan Rubi maupun suasana hatinya yang sama sekali tidak ia mengerti.

***

Hakam menatap bingung ibundanya yang membuka pintu mobil di bagian belakang.

"Ummah duduk di belakang?" tanyanya yang sudah pasti mendapat anggukan dari wanita cantik itu.

"Di depan aja," tawarnya, sambil membuka pintu kemudi sedikit, netranya masih menatap sang ibunda.

Ummah Jian menarik gamisnya yang menjuntai, lalu menarik pintu untuk menutupnya. "Di sini aja, ah. Nemenin Rubi." katanya sambil tersenyum tipis.

Mendengar itu, Rubi yang sudah anteng di sebelahnya mengangkat kepala dari layar handphone. Kemudian sudut bibirnya tertarik, memamerkan senyum kemenangan pada Hakam.

Hakam mendecak, ia membenarkan posisinya di kursi kemudi dengan nyaman. Lantas menyalakan mesin mobil. "Berasa jadi sopir."

"Apa Kak? Ummah gak denger?" tanya Jian saat mendengar anaknya bergumam.

"Enggak Ummah," Hakam menggeleng cepat. Ia kemudian melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Melewati jalanan komplek, lantas berbaur bersama kendaraan lain di jalan raya.

Sinar matahari yang terik tidak membuat anak-anak jalanan meneduh sambil memangku gitar. Begitupun dengan pedagang-pedagang asongan yang memilih duduk di bawah pohon rindang. Menghindari panas yang menyengat kulit.

BAHTERA HARU [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang