Hakam menatap datar pada Rubi yang sedang melihatnya dengan tampang remeh. Gadis itu terus saja mengadu menyalahkan dirinya. Hakam tidak bisa berkutik, apalagi di depan ayahnya.
"Jangan gitu lagi, Kakak!" kata Azhar tegas.
Helaan napas Hakam keluar, ia mengangguk patuh. "Iya Buya, maaf."
Rubi yang berada di sebelah Azhar tersenyum miring, senang melihat sepupunya menderita. Kini ia melirik Shaka yang hanya duduk santai seraya memainkan ponsel.
"Bang!" panggilnya.
Shaka yang tengah tiduran di sofa ruang keluarga menoleh. "Apa?"
Azhar dan Jian fokus kembali menonton televisi. Sedangkan Hakam, ia pura-pura sibuk memainkan ponselnya. Namun, telinganya ia pasang lebar untuk menguping pembicaraan abang dan sepupunya.
"Besok anterin gue ospek ya?"
"Jam?"
"Jam 5 harus udah ada di tempat."
Shaka tersentak mendengarnya, "yang bener aja lo?!"
Rubi mengangguk malas, "sebenarnya gak boleh dianterin, apalagi bawa kendaraan sendiri." terangnya.
Shaka duduk, untuk berbicara lebih jelas dengan Rubi.
"Disuruh pake transportasi umum?"
Rubi mengangguk.
"Di jam segitu?"
Rubi mengangguk lagi.
"Gila!" decak Shaka.
Membuat atensi orang tuanya teralihkan.
"Kenapa, Bang?" tanya Buya langsung.
Shaka menjawab. "Rubi disuruh berangkat ke kampus jam 5 pake trasnportasi umum."
Buya mengangguk singkat, "lalu?"
Shaka menatap Rubi yang diam saja, ia menghela napas pelan dan memilih untuk menjelaskan.
"Rubi minta anter ke Abang, mungkin nanti dia bakal minta diturunkan sebelum gerbang kampus. Begitu Rubi?" Akhir kata Shaka menatap sepupunya. Rubi mengangguk singkat dan menjentikkan jarinya.
"Tapi, Abang gak bisa nganter Rubi. Karena kalo berangkat jam segitu nanti kepagian di kantor, kalo balik lagi ke rumah, nanti harus bolak-balik." cengirnya.
Rubi mendengus, "ngomong aja dari awal kalo gak mau nganter."
"Dih, ngambek." goda Shaka. Rubi hanya mendelikan matanya.
"Gue aja yang nganter." imbuh Hakam tiba-tiba. Seluruh pasang mata langsung menatapnya penuh keheranan.
"Kebetulan emang lagi gak ada kerjaan," lanjutnya memberikan alasan.
"Yang bener?" tanya Jian dengan nada menggoda.
Hakam mengangguk saja. Namun saat mendengar ucapan ayahnya, ia sontak saling bertatapan penuh arti dengan ayahnya.
"Rubi dianter Buya aja." putusnya mutlak.
Hakam menghela napasnya saat paham dengan maksud tatapan ayahnya. Sepertinya ia sudah kalah sebelum berperang. Atau, dirinya ini memang sudah salah langkah sedari awal.
***
"Mata kamu udah sembuh?" Jian menghampiri Rubi yang sudah rapi dengan seragam dan perlengkapan ospeknya. Ia mengusap pelan area wajah yang terluka itu.
"Udah, cuma kalo disentuh masih agak sakit." Mendengar penjelasan Rubi, Jian langsung menoleh cepat ke posisi Hakam yang masih duduk di meja makan dengan pakaian kokonya, tengah mencemil roti.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAHTERA HARU [On Going]
SpiritualKisah seorang laki-laki yang sedang berusaha memperjuangkan cintanya pada sepupunya. __________ Cerita ini murni karangan Author! Dilarang plagiat! Mohon maaf bila ada kesamaan dalam cerita ini. __________ Cover by : canva