Tak ada yang berinisiatif untuk membuka suara, keduanya— Gyuvin dan Yujin, hanya diam memandang ujung sepatu masing-masing, membiarkan kekosongan menyergap dan setitik gundah menyelinap ke dalam hati yang lebih muda.
Awan kelabu menggelayut meski jam baru menunjukkan pukul setengah 3 sore, selaras dengan suasana hati dua insan yang masih belum mau memecah hening sejak detik pertama keduanya duduk bersisian.
Yujin tahu ada sesuatu yang terjadi dengan orang di sebelahnya, dan dia tidak tahu harus memulai percakapan dengan cara yang bagaimana. Udara yang datang bersamaan dengan presensi Kim Gyuvin belum pernah terasa se-suram ini sebelumnya, si kecil jadi sukar menyesuaikan diri.
Gyuvin terdengar menarik napas begitu dalam, Yujin dengan ragu menoleh ke arahnya.
"Maaf." Gyuvin menelan ludah, wajahnya sendu, diusap pelan oleh telapak tangannya yang besar.
Yujin tak dapat menangkap arti dari kalimat sederhana yang diucapkan pemuda itu. Sedangkan Gyuvin sendiri masih berusaha memerangi isi kepalanya yang berantakan.
Dia sadar ini bukan waktu yang tepat untuk menemui Yujin, untuk duduk bersama dan menikmati rintik hujan yang mulai turun dan membasahi jok motornya yang dia parkirkan di tepi jalan. Gyuvin tahu seharusnya dia tak menunjukkan sisi yang ini terlebih dahulu kepada orang di sampingnya.
Tapi dia tak bisa menahan diri.
Sejak detik pertama dia melihat Yujin, ada dorongan keras dari dadanya untuk segera menarik rem dan menepikan si jago yang baru saja dia selamatkan dari adegan penculikan. Walau setelah melakukan itu, Gyuvin tetap tak tahu apa yang harus dia lakukan lagi selain duduk di sebelahnya dan diam seolah bisu.
"Kak Gyuvin."
Yujin akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara. Nadanya ragu, tapi di saat yang bersamaan dia tampak yakin.
"Mau pinjam bahuku gak?"
Sesuatu terasa mengorek dada Gyuvin lebih dalam lagi, menyentuh satu persatu rasa takut yang sebelumnya dia sembunyikan rapat-rapat di dalam sana. Katup di dalam dadanya seolah terbuka dan berbagai kecemasan berlomba-lomba keluar memenuhi seluruh inti sel di dalam tubuh Gyuvin.
Melihat yang lebih tua mulai melamun dan tercekat, Yujin inisiatif mendekat lebih dahulu, menarik Gyuvin lewat bahunya, membiarkan wajah itu langsung terbenam di perpotongan lehernya. Yujin kemudian merasakan lengan Gyuvin melingkar erat di pinggangnya, menarik Yujin mendekat seakan meminta perlindungan.
Yujin tak tahu apa yang terjadi dengannya, dan mungkin hanya hal ini yang bisa dia lakukan, menyembunyikan Gyuvin dari dunianya yang sedang berantakan.
.
"Lebamnya aku obatin mau? Mumpung gerbang belum dikunci."
Gyuvin menggeleng, mengeratkan pelukan. Yujin pun tak memaksa, hanya kembali diam sambil tangannya dengan lembut mengusap punggung Gyuvin, membantunya menenangkan diri.
Hujan turun tidak sederas hari-hari sebelumnya, jadi Yujin bisa menikmatinya lebih banyak tanpa perlu menarik kakinya menjauh agar tak kecipratan. Gyuvin masih betah meringkuk di dalam rengkuhannya, mungkin sedang menata hati.
"Han."
"Hm?" Yujin menunduk kecil.
Gyuvin menggerakkan wajahnya sedikit, menyamankan diri di atas bahu Yujin. "Mau diobatin."
Yujin sempat terpaku sejenak, berkedip-kedip, sebelum membulatkan bibirnya karena baru connect. "Oh, iya. Sebentar. Aku pinjem kotak P3K-nya dulu ke UKS."
Gyuvin mengangguk.
Hanya mengangguk.
Yujin menggigit bibirnya. "Pelukannya... bisa dilepas dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
all you had to do was stay
Fiksi Penggemar[𝐆𝐲𝐮𝐯𝐢𝐧 & 𝐘𝐮𝐣𝐢𝐧] 'Hidup' dalam kamus Han Yujin adalah sepuluh jemari yang mencekik, beban tak kasat mata yang merenggut napas, dan sepasang tali yang mencengkeram kaki. Hingga kemudian, entah kenapa sejak hari itu, arti 'hidup' di dalam k...