"So, how was it?" Ollie bertanya sambil menggigit bibir, penuh hati-hati melirik remaja bermarga Han yang berjalan dengan tatapan kosong di sisinya.
Sudah dua jam lalu sejak sang papa akhirnya dengan tegas memutus semua ikatannya dengan hal-hal berbau seni, tapi Yujin masih mendapati sebuah lubang besar di dadanya, yang kemudian membuatnya seperti orang linglung karena sesuatu terasa hilang-direbut paksa dari jiwanya. Atau mungkin memang itu yang sebenarnya terjadi.
Entah sudah berapa kali Yujin mengembuskan napas hari ini, dan dia tak kunjung lega.
"Ya, selesai," jawabnya asal, menatap ujung sepatu yang terus melangkah dengan senyum getir samar. Ollie dengan sedih merangkul bahunya.
.
Yujin mulai jadi robot papanya sejak dia masuk sekolah menengah pertama. Sempurnakan semua angka di raport, jadi peringkat pertama paralel, ikuti semua bimbingan belajar yang menjanjikan, jadi juara di semua olimpiade yang diikuti-Han Yujin dilahirkan untuk jadi sempurna, begitu kata papanya.
Semuanya masih cukup lancar sampai kemudian Yujin akhirnya memasuki sekolah menengah atas. Dia ada di peringkat kedua saat sekolah mengumumkan hasil pemeringkatan-kalah dengan murid dari kelas sebelah yang juga seangkatan dengannya. Dan tebak apa? benar, papanya marah besar.
Yujin dikurung selama satu hari di dalam kamar. Akses internet dicabut, Ollie sampai nekat menggedor gerbang utama karena Yujin tak kunjung menjawab telponnya, walau sia-sia karena akhirnya dia diusir paksa. Sejak saat itu, papanya semakin ketat mempehatikan perkembangan nilainya di sekolah.
Walau seperti kata papanya tadi, sudah empat semester berlalu dan Yujin masih gagal mencapai peringkat satu. Lawannya benar-benar tak terkalahkan.
Satu-satunya hal yang membuatnya tetap 'hidup' selama ini adalah seni. Yujin suka menggambar, meskipun sang papa membencinya. Menggambar adalah pelariannya selama ini. Dia sampai sujud penuh gembira di kaki papanya saat tahun lalu beliau akhirnya mengizinkan Yujin ikut les menggambar untuk meningkatkan kemampuannya.
Dan sekarang semuanya malah berakhir begini.
.
Yujin mengembuskan napasnya dengan frustrasi. Dia mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam kafe dengan langkah tak bertenaga, disusul Ollie yang masih belum mau buka suara banyak karena takut mengganggu temannya.
Ruangan minimalis yang sering Yujin datangi ini punya aroma kopi dan roti yang khas. Kafe yang tak sengaja Yujin dan Ollie temukan tiga tahun lalu saat keduanya sedang mencari tempat untuk mengerjakan tugas bersama, nyatanya mampu membuat betah hingga dijadikan tempat yang wajib dikunjungi setiap akhir pekan.
Keduanya berjalan menuju meja di dekat jendela, spot favorit. Yujin langsung menenggelamkan wajahnya di atas lipatan lengan segera setelah dia duduk, dan Ollie memperhatikan sambil merapatkan bibirnya iba.
"Boys?"
Seseorang memanggil mereka dari arah meja kasir, hanya Ollie yang menoleh.
"Eh, iya, kak Hanbin."
Ollie segera berdiri dan menghampiri pemuda itu, Sung Hanbin namanya, mahasiswa tingkat akhir yang juga merupakan pemilik kafe.
Hanbin dengan bingung memperhatikan remaja kelas sebelas yang terlihat lemas di mejanya. "Yujin kenapa?" tanyanya pada Ollie.
Ollie menghela napas, dia meraih papan kecil berisi menu lalu menatapnya lamat-lamat sebelum menjawab. "Biasa."
"Papanya lagi?"
Ollie mengangguk, sibuk memikirkan pesanan.
Sedangkan Hanbin cemberut kasihan ketika mendengar jawaban Ollie. Pemuda itu melirik Yujin yang masih belum mau bergerak, menatapnya dengan sorot mata sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
all you had to do was stay
Fanfiction[𝐆𝐲𝐮𝐯𝐢𝐧 & 𝐘𝐮𝐣𝐢𝐧] 'Hidup' dalam kamus Han Yujin adalah sepuluh jemari yang mencekik, beban tak kasat mata yang merenggut napas, dan sepasang tali yang mencengkeram kaki. Hingga kemudian, entah kenapa sejak hari itu, arti 'hidup' di dalam k...