Mulutku mengunyah buah pisang yang sudah terpotong menjadi bagian kecil yang sebelumnya harus repot mengupas kulitnya dengan pisau dan garpu dalam rangka sarapan pagi. Sangat merepotkan! Etiket bangsawan ini lama-lama bisa membunuhku perlahan, karena sangat lamban, merepotkan, dan aku tidak suka itu.
Setelah kejadian pagi tadi, saat membuka mata mendadak terkejut dan hampir saja berteriak jika tak segera kukuasai keterjutanku. Beberapa pasang mata menatapku khawatir, lalu pria yang sepertinya seorang dokter memeriksa kesehatanku dan ia mengatakan bahwa aku tidak sadarkan diri hanya karena kelelahan. Aku juga tidak tahu penyebab diriku pingsan, karena tubuhku ini sangat kebal terserang virus, dan tentunya sangat jarang sakit. Tapi ini bukan tubuhku, yang benar saja!
Dan aku baru menyadari jika nama-nama dan gelar yang disebutkan oleh Anne tadi pagi. Itu semua adalah tokoh-tokoh dalam sebuah novel yang pernah kubaca. Aku sudah hampir melupakan novel itu karena dulu aku membaca novel itu saat masih sekolah menengah dan tidak pernah membacanya berulang.
Aku terserang syok dan masih tidak percaya bisa memasuki sebuah cerita dalam novel dan tentunya kejadian ini sangat diluar nalar. Semalam, saat di apartemen diriku hanya tidur dan bukan tertabrak gerobak lalu nyawaku melayang berpindah dimensi. Kejadian ini sungguh tidak masuk akal karena aku manusia sungguhan yang tinggal di bumi, bukannya tokoh novel fiksi!
Menelan potongan terakhir dari pisang menyebalkan ini. Tetapi pikiranku masih sibuk memikirkan bagaimana tubuhku di sana? Apakah aku sudah mati? Atau hanya mati suri atau dalam bahasa medis biasa disebut koma? Dan bagaimana kabar temanku yang cerewet itu, Lisa, mendadak aku merindukanmu.
"Camilla." Paggilan itu menyentakku, mataku langsung mengarah pada seorang pria yang duduk di seberangku.
"Iy—iya?" jawabku terbata. Ugh, dasar mata sialan! Bagaimana jika aku mencolok mata indahmu itu? Tatapanmu benar-benar tidak bersahabat sama sekali dengan alis menukik ke bawah seperti itu.
"Bagaimana keadaanmu?"
Huh, Apa? memangnya aku kenapa? Tetapi pria itu, duke Louis menatapku lekat dengan mata tajamnya. Itu benar-benar membuat nyaliku seketika menciut. Dan apa yang ditanyakannya itu tentang kejadian pagi tadi?
"Aku baik-baik saja. Tuan Arnold mengatakan jika aku hanya kelelahan dan tidak ada penyakit serius," jawabku. Mataku memandangnya yang sedang mengelap sudut mulut dengan kain menandakan telah menyelesaikan kegiatan makannya.
"Perhatikan kesehatanmu. Tidak baik jika terus merepotkan pelayan karena ulahmu." Astaga, kata-katanya menusuk sekali!
Diriku hanya bisa mengangguk mengiyakan, tapi mulutku ini gatal sekali ingin merutukinya. Biar kujelaskan bahwa pria itu tatapannya setajam silet dan omongannya sepedas nyiyiran tetangga.
Tapi, rupa pria itu bisa membuat seseorang menoleh kedua kali untuk menatapnya lagi. Garis rahang tegas, hidung mancung sempurna, bibir merah pekat kontras dengan kulit putihnya. Surainya hitam selaras dengan netra gelapnya. Oh, demi apa kenapa dia sangat tampan?
Duke Louis. Huh siapa tadi namanya, ya? Anne sudah memberitahu namanya tadi, tapi aku melupakannya lagi. Derren, yah, Derren Ethan Louis. Seorang duke dari wilayah utara dan kekuasaan yang dimilikinya cukup luas yaitu Lamelia, tapi masih dibawah kekuasaan kerajaan tentunya.
Sedikit yang kuingat tentangnya dalam novel, karena sebenarnya Derren adalah pemeran sampingan yang namanya hanya muncul beberapa kali. Lalu kenapa aku malah menjadi istrinya? Bukankah biasanya dalam novel tema transmigrasi, seseorang akan memasuki raga pemeran utama atau antagonisnya. Lalu apa misiku di sini?!
My Charlotte adalah judul novel itu. Seperti novel kebanyakan, yang menceritakan kisah cinta seorang putra mahkota dengan seorang tuan putri dari kerajaan seberang, kira-kira seperti itulah garis besarnya. Tetapi aku lupa bagaimana alur cerita itu, yang kuingat hanya akhir cerita itu adalah bahagia.
Hm, dan juga lupa sama sekali tentang tokoh yang mempunyai nama Camilla Zoe Marion ini. Namaku dengannya sama, tepatnya bagian depannya saja. Aku adalah Camilla Jeanny. Jika Camilla Z. Marion adalah konglomerat, maka Camilla Jeanny adalah kalo nganggur mlarat! Hm, miris memang. Tapi itulah kenyataan.
Alur novel ini sangat kubutuhkan untuk kelangsungan hidupku selama di tempat antah berantah ini sekarang. Namun, aku sudah lupa sama sekali. Dasar pikun!
Optimis saja! Bukan 'kah aku bisa kembali ke tempat asalku dulu setelah menyelesaikan misiku di sini? Benar begitu 'kan?
Netraku memindai sekitar, ruangan untuk makan saja kenapa luas sekali? Semua pelayan dan prajurit disini hanya menundukkan wajah, aku sempat berpikir apa kaki mereka tidak kesemutan jika berdiri terus-menerus seperti itu? Hening menyerbu sebelum duke Louis berdiri sepertinya hendak beranjak dari tempat ini.
"Derren," aku memanggilnya sembari tersenyum, sedangkan ia mengurungkan niatnya sebelumnya.
Dan mengapa reaksinya begitu? Apa aku sudah salah karena memangginya dengan nama saja tanpa embel-embel duke, atau 'kah aku harus meralat panggilanku menjadi suamiku atau 'kah malah sayangku. Hm, sepertinya tidak, aku geli jika harus memanggilnya dengan sebutan itu!
Pria itu tidak menyahuti dan hanya menatapku sepertinya menunggu apa yang hendak kukatakan selanjutnya. "Anne mengatakan jika kau akan pergi hari ini. Kemana?" tanyaku.
"Ya, istana kerajaan," singkatnya. Sebenarnya aku juga sudah tahu, sih.
"Em, sebernarnya, aku ingin ikut denganmu. Aku hanya merasa bosan di sini, mungkin di sana ada banyak sesuatu yang menarik," jelasku bersemangat padanya. Aku harus bisa meyakinkannya, aku tidak ingin berada di kediaman ini terus dan tentunya aku merasa takut karena tidak ada yang kukenal selain Anne. Itu pun aku mengenal wanita paruh baya itu pagi tadi.
Tapi apa-apaan itu?! Ia hanya melengos lalu berjalan keluar ruangan lebih dulu. Menyebalkan! Setidaknya jawab dulu pertanyaanku, sialan! Ingin sekali ku jambak rambutnya itu. Tetapi secepatnya aku sadar diri.
Karena lihatlah dia, tinggi sekali. Kira-kira aku—ralat tubuh Camilla ini hanya sebatas dadanya. Punggung lebarnya tertutup jubah yang menyapu lantai, meskipun posisinya membelakangiku, tetapi aura yang dimilikinya benar-benar menekan nyali seseorang.
Seketika aku melotot terkejut, sebuah pedang bersarung digenggaman tangan kanannya. Apa dia harus membawa senjata tajam seperti itu kemana-mana?! Itu mengerikan! Aku hanya bisa menelan ludahku kasar untuk menekan rasa takutku.
"Derren! Kenapa kau mengacuhkanku?!" tanyaku menggebu mencoba menyamai langkah lebarnya, dan gaun berat yang kupakai ini benar-benar menyusahkan sekali. Sebenarnya diriku mengekorinya sedari tadi semenjak keluar dari ruang makan. Dan yah, aku merasa buta arah, tempat ini asing bagiku, jadi kuputuskan untuk mengikuti pria di depanku ini.
"Tidak. Kau hanya akan menyusahkan diriku dengan tingkahmu itu."
"Ugh, kejam sekali!" Aku memasang wajah melas, tetapi percuma karena Derren tidak peduli dengan itu. Dasar!
"Aku akan tetap ikut! Jika kau tidak membolehkan ikut denganmu, aku akan menaiki kuda sendiri dan pergi ke sana!"
Aku mengerjap cepat! Hah, ancamanku terlalu konyol. Bagaimana mungkin aku menaiki kuda, aku saja tidak pernah meligat hewan itu. Karena memang di kota tidak ada kuda jika bukan di peternakan atau peliharaan orang kaya.
"Terserah."
Huh, boleh nampol ni orang gak, sih?
***
Bersambung...
with luv♡
(づ ̄ ³ ̄)づ
KAMU SEDANG MEMBACA
Duchess Louis
Historical Fiction"Tentu saja suami nona, Duke Louis. Dan kerajaan Balethiva tentunya. Lalu saya Anne, pelayan nona sejak kecil dan kenapa nona malah menanyakan hal sudah nona ketahui?! Lalu saya tidak mengenal Lisa, apakah ia pelayan baru nona?" jelasnya frustasi. *...