Anne membatuku bersiap dan memakaikan gaun lebar berwarna biru gelap super berat yang berlapis dan tak lupa dengan korset ketat yang membungkus tubuhku. Dan berbagai perhiasan khas seorang bangsawan semakin menambah beban. Penampilanku sudah mirip ibu-ibu komplek yang suka memamerkan kekayaannya.
Sebelumnya tadi aku sempat berdebat sebentar dengan wanita paruh baya itu. Tentu saja diriku keras kepala bahwa aku akan mandi sendiri tanpa dibantu orang lain, itu memalukan! Tetapi pada akhirnya aku hanya menurut saja ketika dimandikan olehnya karena telingaku rasanya sudah sakit mendengar ia mengoceh tanpa henti seperti burung beo. Sempat bertanya-tanya sebenarnya disini aku atau dia yang majikan?
"Anne, gaun ini berat. Aku mau pakai seperti punyamu saja! Sepertinya nyaman," keluhku padanya. Yah, kulihat gaun milik Anne lebih simpel dibanding yang kupakai saat ini.
"Tidak boleh! Nona tidak boleh memakai pakaian pelayan!" Suaranya itu heboh sekali.
"Baiklah, oke. Tapi kenapa kau malah meneriaki ku?" tanyaku kesal.
"Ah, iya maafkan saya nona karena tidak sopan. Dan lihatlah nonaku sudah sangat cantik memakai gaun ini," pujinya tersenyum semringah.
"Iya-iya baiklah. Aku malas berdebat denganmu."
Aku beralih duduk di depan meja cermin, mengamati wajahku sekarang, pendapatku kami memiliki kemiripan. Mungkin kulitku ini menjadi lebih halus dan putih. Iris berwarna biru gelap, terlihat teduh saat dipandang.
Tanganku menyentuh helai panjang rambut yang tergerai, cokelat gelap. Berbeda dengan milikku dulu yang hitam legam dan pendek sebatas bahu saja. Hm, apa nanti jika keramas aku harus mencelupkan seluruh kepalaku ke dalam bak mandi untuk membilas rambut panjang ini?
Kesimpulannya disini, wajah kami memang hampir mirip, tapi tetap saja berbeda. Dia lebih cantik!
***
Langkahku cepat menuju halaman kediaman ini, Anne mengikutiku sembari mengoceh terus-menerus, katanya takut jika diriku sampai terjatuh jika menginjak gaunku sendiri.
Netraku memindai Derren dan antek-anteknya terlihat sudah berkumpul dengan beberapa kuda. Sepertinya sudah akan berangkat, hanya tinggal menunggu perintah atasannya saja.
Tertegun sejenak, pria itu berkemeja hitam dipadukan dengan setelan formal abu gelap. Ugh, tidak diragukan lagi dia benar-benar tampan!
"Derren! kenapa kau tidak mengatakan padaku jika akan berangkat sekarang?" omelku sambil berkacak pinggang di hadapannya. Kulihat ia menghentikan kegiatannya yang sedang mengelus kuda warna hitam di depannya.
"Aku sudah bilang jika akan ikut, kan? Atau kau sengaja akan meninggalkan diriku?" tanyaku menggebu. Matanya lalu memindai diriku dari atas ke bawah. Hei! itu tidak sopan, tahu!
"Tidak mungkin jika kau ingin menunggang kuda dengan gaun rumitmu itu," jawabnya santai.
Aku gelagapan menggigit bibir bawahku. Hmm, aku harus mencari alasan.
"Em, ten—tentu tidak. Setelah kupikir aku akan naik kereta kuda saja. Tentunya bersama dirimu," ucapku menjelaskan.
"Tidak ada kereta, terlalu lamban. Aku akan menunggang kuda, dan sebaiknya urungkan saja keinginanmu itu, Camilla." Kolot sekali kau, Derren!
"Bagaimana jika duchess naik kuda bersama saya saja, jika duke tidak mau bersama anda?" Aku mengalihkan atensiku pada pria di samping Derren, dia juga tampan. Siapa dia?
"Ahh, ide bagus. Ayo kalau begitu kita berangkat saja!" ucapku bersemangat lalu menghampirinya. Tidak apa-apa jika tidak dengan Derren, aku akan bersama dia saja. Dia pun tampan dengan setelan kesatrianya hihi.
"Kenapa kau ikut campur, Hugo?" Suara berat itu menghentikan langkahku.
"Ah, maafkan saya duke. Saya tidak bermaksud." Pria tadi ternyata bernama Hugo, menunduk meminta maaf pada Derren.
"Siapkan kereta. Kita akan berangkat sekarang!" ujar Derren memerintah, entah pada siapa. Aku tersenyum senang.
Oke, duchess Louis mau jajan-jalan naik kereta!
***
"Ugh, pinggangku rasanya encok!" keluhku.
Sudah kesekian kalinya diriku menghembuskan napas kasar. Sudah berapa jam aku di dalam kereta kuda ini? mungkin lima sampai enam jam atau malah lebih? Aku tidak menghitungnya dan malas untuk menghitungnya.
Diriku tadi sempat tertidur, tetapi hanya sebentar lalu terbangun karena perjalanan sedari tadi tidak ada mulus-mulus nya. Beberapa kali tubuhku terbentur dinding kereta karena guncangan. Sepertinya aku akan mengusulkan perbaikan jalan dengan aspal!
Sebenarnya aku ingin memanggil Anne. Tetapi aku tidak tahu apakah tadi dia juga ikut bersama rombongan ini.
"Hei, kau!" Kepalaku menyembul keluar dari jendela kereta memanggil prajurit yang menaiki kuda tak jauh dari kereta ini.
Ia menunduk patuh lalu menghampiriku dengan kudanya agar lebih dekat. "Ada yang bisa saya bantu, duchess?" tanyanya.
"Kapan kita sampai sebenarnya? Aku lelah, tahu!" gerutuku. Prajurit itu mendunduk semakin dalam dan sepertinya sedang memikirkan jawaban yang akan dilontarkannya padaku.
"Em, sepertinya sebentar lagi sampai, duchess."
Aku sungguh tidak puas dengan jawabnnya yang tidak pasti itu. Aku pun mengusirnya kasar, peduli amat dengan etika bangsawan. Huh.
"Duchess?" Aku dikejutkan dengan suara itu. Aku melongok kembali dari jendela kereta.
"Oh, tuan Hugo. Ada apa?" Yah, itu Hugo. Sepertinya dia cukup dekat dengan Derren, mungkin dia seperti tangan kanan Derren?
Ia terkekeh sebentar lalu berucap, "panggil saya Hugo saja, duchess."
"Ah, baiklah Hugo. Ada apa?" Aku berharap dia membawa kabar baik bahwa sudah sampai tempat tujuan agar perjalanan mengerikan ini segera berakhir.
"Tidak ada. Hanya saja duke meminta saya untuk melihat keadaan duchess saja. Dan sepertinya kurang baik, benar begitu duchess? katanya terkekeh lagi.
Wajahku masam menatapnya. "Sudah tahu kenapa tanya? Dan tuanmu itu sangat menyebalkan, kenapa tidak dia saja yang menjengukku ke sini? Dasar tidak peka!"
Aku melirik ke depan, tepatnya pada Derren yang menunggagi kuda hitamnya. Kulihat dia sejenak menatapku ke sini, tetapi segera ia mengalihkan pandangannya dariku.
"Duke sedang sibuk, duchess." Hugo tertawa, jelas sekali dia sedang menyindir atasannya itu.
Sebenarnya aku merasa aneh tiba-tiba memiliki seorang suami di dunia lain seperti ini. Aku tidak merasa jika sudah pernah menikah dengan mengucapkan ikrar pernikahan.
Yah, ini aneh. Tapi aku suka tiba-tiba punya suami tampan seperti Derren. Bukan itu saja, sih. Mendadak diriku kaya tujuh turunan juga dengan pangkat dan jabatan miliknya, jika dulu aku harus kerja rodi sampai cosplay gembel, sekarang dengan tidur pun harta mengalir. Eh, ini bukan mata duitan bukan? Haha—ketawa jahat.
***
Bersambung...
with luv♡
(づ ̄ ³ ̄)づ
KAMU SEDANG MEMBACA
Duchess Louis
Historical Fiction"Tentu saja suami nona, Duke Louis. Dan kerajaan Balethiva tentunya. Lalu saya Anne, pelayan nona sejak kecil dan kenapa nona malah menanyakan hal sudah nona ketahui?! Lalu saya tidak mengenal Lisa, apakah ia pelayan baru nona?" jelasnya frustasi. *...