Menoleh sedikit ke samping. "Dasar suami sialan!" Aku mengumpati pria di depanku ini. Tentu saja dengan suara pelan, hampir berbisik.
"Kau mengumpatiku, Camilla?" Diriku lansung menatap horor Derren. Bagaimana dia bisa dengar?!
"Tidak, kapan aku mengumpatimu? Aku itu duchess yang lemah lembut, baik hati dan tidak sombong. Mana mungkin aku mengumpati suamiku yang tampan ini?" elakku menyeringai sambil mengedip-ngedipkan mata padanya. Mana tau Derren bisa terpesona dengan kedipan mautku itu.
"Oh." Aku mendengus kasar, selalu saja begitu... hm, heran aku tuh!
"Cepatlah naik! Siput saja lebih cepat darimu." Mataku melotot hampir meloncat dari tempatnya.
"Apa?!" Aku bersungut marah, asap tebal keluar dari kedua lubang hidungku. Em, oke, itu terlalu berlebihan. Tapi dia itu kenapa sangat menyebalkan!
Pria itu terkekeh. "Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin menyamakan istriku yang cantik ini dengan siput."
Aku melongo sejenak. Benar-benar dia itu sangat tidak terduga! "Ekhm, tentu saja. Istrimu ini sangat cantik bukan?" ucapku bangga lalu mengibaskan rambutku ke kanan dan ke kiri.
"Ya. Cepatlah!" perintahnya.
Aku terus mengamati kuda yang akan kunaiki itu. Dari mana aku bisa menaikinya? Sungguh ini lebih sulit dari ujian akhir sekolah! Mataku melirik Derren, ia hanya menatapku datar. Sesulit itukah ia untuk peka?
"Lain kali katakan terus terang! Aku tidak selalu paham apa yang kau maksud hanya dengan tatapanmu itu!" Setelah mengucapkan itu diriku dibuat terkejut karena dalam sekali hentakan Derren mengangkat tubuhku untuk duduk diatas kuda dengan posisi menyamping disusul Derren yang duduk dibelakangku.
"Kita pulang," ucap Derren. Aku menoleh kesamping, sebelum tali pengekang kuda dihentakkan keras sehingga tiba-tiba hewan yang kunaiki ini berlari secara brutal. Nyawaku terasa tertinggal, ini benar-benar mengerikan!
Mulutku ingin sekali memakinya tapi akan kutunda dan lebih baik sekarang akan terus berteriak kesetanan menutup mata, dan entah sejak kapan tanganku ini melingkari erat pinggang pria sialan ini. Aku akan membuat perhitungan dengannya setelah kuda ini sampai tujuan tentu saja jika nyawaku masih berada ditempat seharusnya.
***
"Hoam..." Aku mengerjapkan mata untuk menyesuiakan cahaya. Masih dalam posisi merebah, diriku merenggangkan tubuh untuk melemaskan otot-otot yang kaku.
Aku terduduk langsung ketika menyadari kejadian selamam. Itu adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan sama sekali. Aku ingat betul bahwa diriku sampai pingsan semalam, karena kecepatan kuda itu hampir menandingi mobil formula satu.
"Padahal kan bisa bawa kuda tuh gak usah ngebut!" gerutuku kesal.
"Awas saja kau, Derren. Dasar! Suami sialan!" Aku berteriak kesal, semua ini karena pria itu.
Menengakkan badan hendak beranjak dari kasur untuk langsung menghampiri pria itu di ruangannya. Aku benar-benar akan membuat perhitungan dengannya!
"Aakh... aduh! Pinggangku rontok!" teriakku heboh karena benar-benar rasanya pinganggku patah karena hentakkan keras dari kuda yang kunaiki semalam.
Tiba-tiba saja dentuman keras dari pintu yang dibuka kasar membuat nyaris diriku terkena serangan jantung.
"Anne, kau mengagetkanku tahu!" Aku menatap garang pada Anne dan berlari tergesa kearahku yang sedang terkapar di lantai. Yah, sedari tadi aku memang merebah di lantai karena pinggangku encok. Berlebihan memang, terlalu drama sekali diriku ini!
"Nona! Apa yang terjadi? Apakah nona terjatuh dari atas ranjang? Apa nona sedang sakit? Oh, maafkan saya nona, ini kesalahan saya karena tidak becus dalam menjaga nona!" oceh Anne seperti biasa.
Wanita paruh baya itu juga membatuku berdiri lalu aku pun kembali merebah di atas kasur yang sangat nyaman ini dengan posisi telentang. Urusan Derren, sepertinya aku akan menundanya dulu.
"Nona tunggu di sini, saya akan memanggilkan dokter untuk memeriksa nona!" ucap Anne heboh sembari membenarkan letak selimut dam menariknya sampai leherku.
"Oh, Anne kau sangat baik. Kau mengingatkanku pada Ibuku," kataku tulus. Yah, benar, aku rindu Ibu, tapi dia sudah bahagia di atas sana bersama dengan ayah.
"Nona... " Anne menatapku dengan wajah sendu dan aku tersenyum menanggapinya.
"Nona, pokoknya nona harus tetap di sini. Saya kan cepat kembali dengan dokter kemari!" ujarnya mantap.
Aku terkekeh sejenak. "Iya panggil dokter, Anne. Pinggangku rasanya mau patah. Sekalian bawakan makanan juga untukku!"
"Apa?! Nona harus segera ditangani. Bagaimana jika itu bisa semakin parah!" ucap Anne panik.
"Nona diam saja saya juga akan mengabari duke jika nona sedang sakit!" Aku mendelik terkejut menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh menuju pintu setelah ia mengucapkan itu.
"Anne, tidak! Aku baik-baik saja, tahu!"
"Anne...!"
***
Berdiri di samping pagar pembatas balkon kamar dan menikmati kue kering yang tak lupa ditemani dengan segelas susu hangat yang dibawakan oleh Anne beberapa waktu lalu. Dokter juga sudah memeriksaku tadi, tentu saja tidak ada hal yang serius dam hanya mengatakan jika aku kelelahan karena perjalanan kemarin. Alasannya itu sangat tidak meyakinkan!
Mengenai Derren, pria itu tidak datang ke kamarku. Anne mengatakan bahwa Derren sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku bersorak karena memang sedang malas jika harus berdebat dengannya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya itu sungguh akan semakin menyulut emosiku.
Jadi, diam saja disini. Menikmati indahnya hidup yang tertunda.
"Hm, jadi ini yang dimaksud sakit parah?" Suara berat itu menyentak diriku. Otomatis kepalaku menoleh pada arah datangnya suara. Mendelik ketika menatap Derren sudah berada di sampingku, bagaimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Kenapa aku tidak tahu saat dia masuk tadi?
"Bagaimana kau bisa masuk?" Pertanyaan spontan yang kulontarkan benar-benar tidak masuk akal!
"Apa aku harus memberitahu bahwa aku masuk lewat atap?"
"Hm, tentu saja. Aku juga sudah tahu kalau kau masuk lewat pintu," jawabku malas.
"Apa kau kesini untuk menjengukku? Yah, sudah pasti sih. Istrimu yang cantik ini sedang sakit, suamiku!" Aku mengedipkan mata berkali-kali dan memasang wajah melas pada pria di sampingku ini.
"Ada apa dengan matamu? Apa itu juga sakit?" tanya Derren menyebalkan.
Aku mendengus kasar. "Huh, dasar tidak romantis!" Mataku melirik tajam pada pria itu yang malah disuguhi tatapan datar andalannya itu.
"Hm, baiklah. Kemarilah! Apakah istriku ini masih sakit?" Diriku tersentak ketika tiba-tiba lengan kekar melingkari pinggangku dan menarik tubuhku mendekat padanya. Wajahku otomatis bertubrukan dengan dada bidangnya, ugh, keras sekali!
Derren mendekapku erat dan segera kubalas pelukannya itu, aroma wangi yang menguar dari tubuhnya sangat khas, sangat menenangkan. Aku terkikik dalam hati karena dipeluk oleh pria tampan–haha (ketawa jahat).
"Apa ini gaun yang kau pakai semalam?" Pertanyaan Derren membuatku melonggarkan pelukanku padanya lalu mendongak untuk menatap ekspresinya.
"Iya. Kenapa memangnya? Bagus kan? Kata Anne aku terlihat cantik memakai gaun ini," jawabku percaya diri. Aku ingin melihat apakah pria seperti Derren bisa memuji istrinya dengan layak.
Selama pengamatanku dua hari ini. Pria itu selalu mengucapkan kalimat kejam dari mulutnya.
"Itu berarti..." Derren menggantung ucapannya.
"Iya, apa?" tanyaku penasaran.
Aku melotot terkejut saat tiba-tiba memegang bahuku menjauhkanku dari tubuhnya. "Mandilah terlebih dahulu, Camilla! Aku khawatir dengan pelayanmu itu jika pingsan saat berada didekatmu!"
"Hah, apa kau bilang?!"
***
Bersambung...
Tekan vote dan komen dibawah untuk dukung cerita ini yaww..
with luv♡
(づ ̄ ³ ̄)づ
KAMU SEDANG MEMBACA
Duchess Louis
Historical Fiction"Tentu saja suami nona, Duke Louis. Dan kerajaan Balethiva tentunya. Lalu saya Anne, pelayan nona sejak kecil dan kenapa nona malah menanyakan hal sudah nona ketahui?! Lalu saya tidak mengenal Lisa, apakah ia pelayan baru nona?" jelasnya frustasi. *...