Memang hari ini terasa sedikit melelahkan, tapi segera hilang setelah hidungku menghirup pelan aroma khas dari daun teh yang baru saja kuseduh dengan air panas. Rasa hangat segera menjalar dari kerongkonganku dan mengalir menuju perut ketika aku menyeruputnya.Aku merapatkan syal tebalku yang melingkar di leher. Udara terasa cukup dingin karena sengaja diriku sekarang tengah duduk santai di kursi tepat di balkon kamarku. Aku mengira pasti sekarang malam sudah larut karena langit terlihat malam terlihat lebih cerah dengan bintang yang berkelip di sana.
Aku sendiri tidak tahu, seharusnya aku menggunakan waktuku untuk mengistirahatkan tubuhku dengan tidur, tapi malah sebaliknya. Baiklah, kuakui aku merasa bosan di sini, tidak ada sesuatu yang bisa menghiburku seperti gadget atau televisi, dan itu sangat mengesalkan.
Aku mengalihkan pandangan menuju pintu gerbang utama bangunan ini, terlihat dua orang pria sedang mematung di dekatnya. Aku jadi penasaran berapa gaji yang mereka dapatkan dari Derren? Apa itu cukup sepadan untuk kaki mereka yang kesemutan semalaman penuh? Hmm...
Angin malam yang semakin terasa menusuk dan suasananya yang gelap membuat jiwaku terdorong untuk segera kembali menuju tempat tidur. Dengan satu tangan diriku membawa cangkir teh dan yang lainnya membawa lilin yang kemudian kuletakkan di atas meja.
Aku hendak berbalik badan, tetapi sesuatu membuatku kembali menoleh lalu mengambil lagi lilin yang baru saja kuletakkan dan mendekatkannya pada sesuatu yang berada di atas sofa. Dan benar, seseorang bersetelan gelap dengan rambut acak-acakan sedang duduk santai memandangku dengan iris gelap yang menyipit.
Aku meletakkan kembali lilin di tanganku ke tempat asalnya dengan malas lalu melangkah menuju ranjangku lalu berbaring telentang. "Beruntung aku tidak berteriak tadi, dan memang sudah seharusnya aku sekarang terbiasa dengan pemandangan merenyeramkan seperti itu."
"Ya, benar."
Aku mendengus kasar mendengar jawaban singkatnya. "Aku tidak bermaksud apapun, hanya saja konsumsilah minuman yang lebih sehat daripada itu! Air putih atau teh misalnya?" kataku sambil menarik selimut.
Aku menoleh ke sumber suara setelah mendengar kekehan darinya. Aku mengerutkan keningku ketika Derren malah menenggak seluruh isi dari gelas berkaki tinggi yang sedari tadi dibawanya.
"Teh? Bagaimana jika aku tidak suka dengan minuman itu? Kau tahu, aku lebih menyukai cairan berwarna pekat yang telah kutenggak tadi."
Karena aku malas menanggapi jadi aku memejamkan mata dan mulai merajut khayalan dalam pikiranku agar segera tertidur setelahnya.
"Aku tidak menyukai ini, dan menurutku semua penduduk Balethiva termasuk Raja Arthur maupun Pangeran Asher pun pasti tidak menyukainya."
Aku tertarik untuk membuka mata kembali mendengar ucapan Derren yang menyinggung nama Asher. Sepertinya aku sudah tidak terlalu peduli dengan nama itu, ataupun nama Charlotte sekarang. Karena sudah pasti, bahwa kehidupanku di sini tidak berpengaruh dengan kisah mereka. Apa aku sudah terlalu betah menjadi Duchess Louis dan melupakan bahwa sebenarnya aku bukan dirinya. Karena aku adalah Camilla Jeanny, seorang gadis biasa yang memiliki kehidupan biasa-biasa saja dan hidup sebagai rakyat biasa.
"Kau tidak seharusnya menyimpannya di sini.' Suara berat Derren menyadarkanku dari lamunan.
Aku bangit dari rebah agar lebih jelas melihat apa yang tengah dilakukannya. "Kenapa memangnya? Itu indah, jadi aku menaruhnya di sana," protesku. Derren langsung mengalihkan perhatiannya kepadaku dari mawar menyala api di tangannya.
Aku memang masih menyimpan mawar api biru itu setelah petang tadi Derren sudah menyuruhku untuk membuangnya. Dan kuakui aku terlalu berani dengan malah menyimpan bunga itu di atas meja sudut dengan vas kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duchess Louis
Historical Fiction"Tentu saja suami nona, Duke Louis. Dan kerajaan Balethiva tentunya. Lalu saya Anne, pelayan nona sejak kecil dan kenapa nona malah menanyakan hal sudah nona ketahui?! Lalu saya tidak mengenal Lisa, apakah ia pelayan baru nona?" jelasnya frustasi. *...