9

5.4K 378 2
                                    

Pada akhirnya disinilah diriku berbaring miring di atas sofa yang tentunya milik Tuan rumah yang sedang telentang di atas ranjangnya yang besar itu. Nyaliku selalu menciut jika berhadapan dengan kegelapan, jadi aku memutuskan untuk  menerima tawarannya saja.

Tetapi aku masih waras untuk tidak ikut berbaring di ranjang luasnya itu karena aku masih sangat ingat bahwa Derren adalah suami orang. Meski begitu pria itu juga sama sekali tidak menawarkannya padaku. Atau mungkin setidaknya hanya menawarkan untuk menggantikan posisiku saat ini juga tidak sama sekali. Baiklah, aku tahu dia tidak sepeka itu untuk paham.

Aku menatapinya yang sedari tadi sudah setia menutup mata. "Derren?" Aku memanggilnya hanya untuk memastikan saja. Tapi tidak ada sahutan balik, berarti dia memang sudah tidur.

Aku memustuskan untuk menutup mata mencoba tidur. Keadaan sepi dan hening seperti ini membuatku merasa hidup sendirian di dunia ini. Itu aneh sebenarnya, tapi nyatanya aku selalu merasa begitu.

Cukup lama sebelum telingaku mendengar deheman, tentu saja itu berasal dari manusia lain selain diriku yang berada di kamar ini. "Ada apa?" lanjutnya.

"Em, tidak. Kukira kau sudah tidur tadi," balasku. Aku menunggu apa yang akan ia ucapkan selanjutnya tapi tidak ada, dia tidak menjawabku dan masih setia menutup matanya.

"Apa kau selalu begini?" tanyaku tiba - tiba. Aku yakin sekarang jika ia belum tidur karena baru saja ia berpindah posisi menyamping menghadap sofa yang kutempati ini.

"Apa?" Suaranya agak serak.

"Apa kau selalu tidur saat bahkan tengah malam saja masih lama?" tanyaku lagi.

"Hm? Tidak." Derren membuka matanya menatapku.

"Lalu sekarang?" Aku bangkit duduk. "Apa kau sakit? Wajahmu sedikit pucat," tanyaku akhirnya. Memang tatapannya sayu dan wajahnya terlihat sedikit pucat.

"Tidak," ia menjawab cepat.

"Begitukah?" tanyaku lagi memastikan. Tapi pria itu tidak menjawabnya.

Aku melihatnya, ia hendak menutup matanya lagi. Akhirnya aku pun ikut berbaring lagi menatap langit - langit kamar lalu bersedekap dada.

Mengerutkan dahiku, berpikir. Aku belum sempat bertanya padanya tentang sebab Camilla menikah dengannya. Namun, sepertinya aku bisa menyimpulkan jika mereka menikah hanya disebabkan oleh alasan tertentu. Karena wanita kepala apel itu jelas mengatakan jika sebelum menikah dengan Derren, Camilla terlibat hubungan yang dekat dengan Putra Mahkota, bahkan ada yang mengatakan jika mereka adalah sepasang kekasih.

Tetapi, yang terjadi sekarang ternyata bukan Camilla yang menikah dengan Putra Mahkota walaupun mereka sebelumnya menjalin hubungan dekat. Namun, Camilla malah menikah dengan Derren dan Putra Mahkota menikah dengan Charlotte lalu memiliki akhir bahagia seperti yang sudah tertulis di novel.

Hm, apa disini juga ada drama percintaan tentang cinta yang terhalang kasta atau malah cinta yang terhalang restu orang tua?

"Emm... apa Putra Mahkota bertunangan dengan Charlotte karena mereka benar saling mencintai atau karena hal lain, ya?" Aku bergumam bertanya pada diriku sendiri. Tentu saja karena satu - satunya orang yang bisa kutanyai sudah terbang ke alam mimpinya.

"Kenapa? Apa kau merasa cemburu jika mereka memang saling mencintai?" Suara serak berat itu membuat diriku terkejut dan menoleh cepat pada arah datangnya suara itu.

"Apa? Kenapa aku harus cemburu?" sangkalku. Tentu saja, kenapa aku harus cemburu? Mereka itu pasangan yang cocok, jadi biarkan mereka membuat kisah cintanya berakhir bahagia seperti yang sudah seharusnya.

Pria itu terkekeh kecil. "Oh kupikir jika kau cemburu," jawabnya. "Mungkin saja karena rencanamu itu gagal jadi kau akan meniatkan sesuatu yang lain untuk mereka."

Duchess LouisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang