"Ini baru permulaan, mulai sekarang akan gue buat apapun yang lo suka, jadi sesuatu yang lo benci Maikari."
- Niel Bharta Kazuya
"Ayah, langitnya sudah terang."
Maika kecil berlari ke dalam pelukan sang Ayah yang tengah duduk di teras rumah, pria tua itu mendekap buah hatinya penuh kehangatan. Senyumnya cerah, membelai puncuk kepala Maika, seraya berujar. "Ya, langit sudah terang nak."
"Ayo main langkah bebek Yah, ayok! Ayok!"
Angin sejuk menerpa pohon, membuat dedaunannya bergoyang ria, embun sisa hujan pun jatuh membasahi tanah yang belum kunjung kering. Ayah bersama Maika berjalan melintasi rerumputan taman belakang rumah. Rasanya dingin begitu Maika tak sengaja menginjak genangan air dari cekungan tanah. Senyum Ayah menerka saat tahu Maika memekik karena sendal kesayangannya basah. Gemas sekali, mungkin setelah ini dia akan merajuk.
"Ayaaahhhh,"
Sesuai dugaan, bocah 5 tahun itu merengek.
Maika cemberut, ia baru akan mengeluh soal kakinya tapi langit kembali gelap. Angin berhembus lebih kencang membuat kelopak bunga dari pohon bungur gugur ke tanah. Sorai dedaunan menimbulkan suara gemerisik, bersamaan dengan hal itu hujan kembali turun. Hal pertama yang Ayah lakukan adalah menggendong Maika, lalu mereka kembali ke teras. Kemeja Ayah sedikit basah, kacamatanya juga berembun, jadi sembari duduk di kursi Ayah membersihkan kacamatanya menggunakan ujung baju.
Wajah Maika makin ditekuk masam, ia memandang lurus ke arah 2 pohon bungur di taman rumah yang tumbuh rimbun. Bunga-bunga berwarna ungu itu banyak gugur, badai membuatnya kelihatan suram. Maika kesal, harusnya ia bermain bersama Ayah. Namun, teduhnya pohon bungur justru terganti oleh genangan air yang mencemari kenangan.
"Aku benci hujan!"
Ayah menoleh. "Maika, kenapa kamu bilang kayak gitu?"
"Gara-gara hujan, Ika nggak bisa main sama Ayah."
"Kan kita bisa main lain waktu nak," Ayah menyaut lembut sambil menarik tangan Maika pelan, saling berhadapan dengan gadis cilik itu. Pipinya yang mengembung karena merajuk terlihat sangat lucu.
"Tapi, Ika mau main sama Ayah sekarang." lalu Maika menunjuk pohon bungur di taman. "Lihat, pohonnya juga benci hujan. Hujan bikin dia nggak cantik lagi, bunganya banyak yang jatuh Yah."
Dua pohon bungur yang tumbuh rimbun saling berhadapan itu adalah tempat favorite mereka. Banyak kenangan yang takan bisa hilang di sana, Ayah dan Maika sering menghabiskan waktu membaca buku, bermain, sekadar mengobrol bahkan tidur siang dia bawah pohonnya yang rimbun. Ayah sebut mereka berkah, Bunda juga pernah melukis pohon bungur di taman, lalu lukisannya dipajang di ruang kerja Ayah. Lukisannya indah, Ayah bilang itu adalah lukisan kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Welnusa School II: The Summer After Rainy
RomanceBisa dibaca terpisah dari Welnusa School I; The Winter Found His Butterfly _______________________ Bagaimana jadinya kalau Sekretaris seorang anak konglomerat, justru mantan pasien Rumah Sakit Jiwa? Niel Bharta Kazuya tak pernah mengira bahwa Ayahn...