Maika menghindari Six.
Pertama saat Six nge-chat minta ketemu Maika sengaja mengabaikan semua pesannya, kedua ketika mereka hampir papasan di Cafetaria Maika langsung ngancir kayak koruptor hampir kena sidak, ketiga kala Six ke kelasnya terang-terangan untuk kesekian kali Maika kabur lagi dengan alasan sakit perut. Konyol sekali, Maika tahu kalau situasi mereka memang harus dibicarakan namun Maika belum siap.
Maika butuh waktu sendiri, dan anggap saja dia takut dengan kenyataan yang ada.
Ayolah! Memangnya manusia mana yang siap kalau cowok yang dia suka setengah mampus adalah keponakannya! Akan kedengaran lebih masuk akal kalau itu sepupu, tapi secara teknis Six bahkan bisa memanggil Maika dengan embel-embel Bibi. Ah sialan! Maika sebal, sedih, marah dan ingin menelan bumi ini bulat-bulat.
"I think, I hate this little life."
"Ha? Lo ngomong sesuatu?" tanya Salva, ia duduk di samping Maika, tadi dia tak sengaja mendengar gadis itu bergumam.
Maika menggeleng. "Nggak."
Niel yang duduk di seberang Maika sempat melirik sejenak, seperti hari biasanya dikala kelas telah berakhir maka The Rebilia akan berkumpul di ruangan mereka untuk sekadar nongkrong atau menunggu transisi kegiatan ekstrakulikuler dimulai. Maika sedang duduk berkutat dengan laptopnya, ia telah selesai membalas email yang masuk di akun pribadi Niel, dan sekarang Maika sedang sibuk ngerjain PR Bahasa Indonesia yang diminta bikin esai, sambil sesekali saling balas chat di grup bareng Tokyo dan Azelea.
Suara ketikan laptopnya saling berpadu merdu dengan bunyi game yang sedang Alta mainkan di ponselnya, sedangkan Miguel dan Erion mereka sedang sibuk main catur. Niel? Ah seperti biasa individualitasnya membawa cowok itu menyendiri sambil membaca buku. Terkadang, tiap beberapa detik sekali Maika akan menghela napas berat sambil menongka dagunya lesuh. Situasinya memang terlihat damai, namun Maika bersumpah masalahnya dengan Six sangat membuatnya terbebani, Maika tak mungkin curhat hal ini ke siapapun jadi terpaksa dia menanggung segala gundah merananya sendiri, ya ampun kenapa hidup ini begitu berat? Kalau begini terus, Maika rasa dia bisa gila beneran.
Lagi-lagi Maika mengembuskan napas kasar, tingkahnya itu sukses bikin Niel menutup buku, dan menatapnya terang-terangan. "Lo baik-baik aja?"
Semua orang yang ada di dalam ruangan mendongak heran, Niel baru saja bertanya, sesuatu yang amat langka, karena mulut ketua The Rebilia itu lebih berat dari mesin ekstafaktor tronton ketika harus buka suara, apalagi ini dia sampai harus bertanya soal kondisi si sekretaris, yang omong-omong lebih banyak dia ajak gelud dari pada hidup rukun.
Sejenak Maika mengerjap bingung, Niel menatapnya. Ya cowok pupil hitam obsidian itu menatapnya, Maika yakin kok. Namun, kenapa fakta itu sulit sekali Maika percaya bahkan untuk memastikannya, ragu-ragu Maika menunjuk dirinya sendiri. "Nge... Lo nanya gue?"
"Ya."
Salva merasa ini momen yang lucu, jadi ia terbahak kecil. Sedangkan Maika ia sempat gelagapan beberapa detik baru menjawab. "I-iya, g-gue baik-baik aja, kenapa emang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Welnusa School II: The Summer After Rainy
RomanceBisa dibaca terpisah dari Welnusa School I; The Winter Found His Butterfly _______________________ Bagaimana jadinya kalau Sekretaris seorang anak konglomerat, justru mantan pasien Rumah Sakit Jiwa? Niel Bharta Kazuya tak pernah mengira bahwa Ayahn...