[1] The sound

14.1K 885 58
                                    

"Leo!" aku berteriak keras seraya menghentakkan kakiku ke lantai, orang yang bernama Leo itu dengan tidak sopannya menghiraukanku. Dia masih sibuk dengan telepon genggamnya. Yang kuyakini sedang menelepon kekasih barunya, Natha.

"Leooo!" lagi, aku melolong bak anjing di malam hari. Kulihat, Leo mendengus kesal disana dan mematikan sambungan teleponnya dengan Natha.

Baguslah.

"Apa?!" ia bertanya sedikit menyentak seraya memutar bola matanya kesal.

Dengan perasaan kesal yang sudah berada pada puncak tertinggiku, aku berjalan menuju tempat Leo berada. Sofa ruang keluarga. Aku menjatuhkan bokongku tepat diatas sofa yang empuk. Sesekali aku melirik sinis Leo yang berada di sampingku.

"Apa?" tanya Leo lagi, masih menyentak.

Aku mendengus, "Apanya yang apa, Le?!" aku menyilangkan kedua tanganku di dada dengan kesal, "Seharusnya kita sudah sampai di karnaval sekarang! Tapi apa? Kau mengacaukannya. Hanya karna gadis barumu itu!"

"Lea," Leo memperbaiki posisi duduknya, menghadap kearahku, "Aku tahu. Tapi, Natha memintaku untuk menemaninya mencari buku untuk persentasenya besok."

Shit.

Natha lagi. Natha lagi.

Ayolah, mana Kakakku yang dulu? Yang perhatian padaku? Yang selalu ada waktu untukku? Mana Kakakku yang selalu mengutamakan kepentinganku dan mengesampingkan hal lain? Kenapa sekarang malah Natha yang di prioritaskan dalam hidup Leo? Sedangkan aku? Leo sekarang mulai mengesampingkan aku.

Semua ini semata-merta karena Natha. Kekasih baru Leo. Apa benar cinta itu bisa mengubah seseorang? Termasuk Leo?

Oh, mana Leondra Rael yang kukenal dulu? Aku rindu Leondra Rael yang dulu.

"Lihat, kakakmu sekarang tidak mempedulikanmu lagi. Sudah sepantasnya kau mati, Lea. Ayo, bunuh dirimu."

"Tidak ada gunanya kau hidup. Tidak menguntungkan siapapun."

"Gantung dirimu sekarang juga, Lea! Semakin cepat semakin baik!"

Argh, suara itu lagi. Suara tumpah-tindih itu seketika memenuhi pendengaranku. Aku menggeleng, berusaha menampik semua suara yang mengangguku. Namun, suara itu semakin memenuhi pendengaranku, membisikkan sesuatu hal yang harus kulakukan--walaupun, sesuatu itu sebenarnya tidak boleh aku lakukan.

Aku menggeleng. Lagi-lagi mencoba menampik suara-suara itu. Tapi yang ada, suara itu semakin banyak asalnya.

Mengerikan.

"Lea, kau kenapa?" Leo memegang pundakku, berusaha membuatku tenang. Tidak berkasak-kusuk kesetanan seperti tadi.

Aku tersentak kala memandang mata Leo. Mata yang sama persis seperti punyaku. Aku menggeleng, menepis kedua tangannya dibahuku. Lalu melenggang pergi. Menghiraukan Leo yang terus-menerus memanggilku.

Suara aneh tadi menyerangku, lagi.

***

Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Membuat tubuhku layaknya berpose seperti bintang besar. Lalu, mataku memandang ke langit-langit kamar.

Aku berpikir sejenak. Suara-suara macam apa yang akhir-akhir ini membelengguku? Suara yang terus-menerus memerintahku mengikuti kemauannya. Bunuh diri? Yang benar saja, aku tidak mau melakukan itu. Aku masih ingin menikmati hidupku.

Tapi suara itu sungguh sangat mengangguku. Membuatku takut jika berada sendirian. Biasanya, suara itu menyerangku kala aku sendirian seperti in---

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang