[17] This World's Too Heavy (2)

2.2K 277 14
                                    

Aku memilih untuk tidak menjawab pernyataan Harry. Membiarkan permohonannya meluap begitu saja bersama desau angin. Jangan pergi, katanya. Tetap bersamanya, katanya. Aku ingin. Sejujurnya, aku tetap ingin tinggal bersamanya. Terserah seberapa lama. Selamanya pun tidak apa.

Tapi aku cukup tahu diri untuk tidak merepotkan lelaki itu lebih banyak daripada sebelumnya.

Sejenak aku menghela napas jengah, meraih ganggang pintu kamarku dan melesak ke dalam. Tepat ketika aku menutup pintu kamarku, ponselku berbunyi.

Drrt.. Drrt.. Drrt..

"Halo,"

"Lea, mereka akan bercerai." suara itu.., "Mom sudah menandatangani suratnya."

Untuk beberapa detik ke depan, aku merasa duniaku hampa. Pasokan udara menghilang entah kemana, bahkan aku tidak bisa merasakan tangan dan kakiku. Semuanya kebas. Mati rasa.

Dan untuk menangispun aku tidak bisa, ini terlalu tiba-tiba.

"Apa..." hanya itu yang bisa kuucapkan. Tenggorokanku tercekat.

"Mom sudah menandatangani suratnya," ulang Leo. Napasnya terputus-putus. "Mereka akan bercerai."

Pikiranku kalut. Satu-satunya yang ada dibenakku sekarang, "Dimana Dad, Leo?"

Leo terdiam. Terdengar helaan napas yang berat diseberang sana. "Dad menghilang."

Lagi-lagi, kabar yang lebih buruk menghantamku. Aku berang, merutuki kenyataan pahit yang terus-menerus menghantamku, tidak berkesudahan. Memang, penderitaan yang selama ini kutanggung, belum cukup? Sehingga takdir begitu senang menjungkir-balikan hidupku?

"Lalu, selanjutnya apa?" tanyaku serak.

"Aku tidak tahu," Leo menjawab acuh. "Itu keinginan mereka. Aku tidak bisa berbuat apa-apa."

"T-tidak, Leo," sanggahku cepat. Cairan bening itu melengsak keluar. "Kita harus melakukan sesuatu! Lakukan apa saja, asal mereka tidak berpisah. Aku akan memikirkan caranya, solusinya, semuanya akan kupikirkan, Leo...," suaraku tertatih-tatih pilu. "Kita harus menyelamatkan keluarga kita—"

"Semua orang punya hak untuk memilih kehidupannya masing-masing, Lea." tutur Leo, menyela ucapanku. "Mereka datang, dan pergi, itu juga hak mereka. Aku, kau, tidak bisa menyalahkan siapapun atas ini. Semua ini."

Aku meremas spray kuat, menahan rasa sakit yang menjalar. Rasanya sakit, tapi kurasa tidak ada untaian kata yang pas untuk menjabarkannya. Bayangkan saja, jika kau diputuskan oleh kekasihmu yang teramat-sangat kau cintai adalah hal paling menyakitkan dalam hidupmu–maka, yang aku rasakan kali ini lebih dari itu. Lebih sakit. Lebih sesak. Lebih ingin cepat mati.

"Tapi kenapa Mom harus memilih jalan itu? Kenapa harus pergi? Kenapa harus meninggalkan, Leo?" aku terisak. Persetan dengan semuanya, aku ingin menangis sampai mati saja. Itupun kalau tidak gagal, lagi.

"Dan semua orang punya alasan masing-masing untuk melakukannya."

Aku tidak mau mendengar lagi. Dengan geram, aku melempar ponsel pintar itu ke dinding. Pecah. Berantakan. Tidak berbentuk. Persis seperti diriku.

Aku memeluk diriku sendiri, dan menangis disana. Meluapkan segala emosi yang berkecamuk, dan dengan bodohnya, berharap dengan menangis urusan keluargaku bisa terselesaikan dengan baik-baik.

Tapi itu hanya harapan konyol. Harapan anak kecil usia lima tahun ketika tidak dibelikan permen oleh ibunya.

Dan permasalahanku tidaklah sesederhana itu. Masalahku pelik, bukan lagi sesederhana tidak dibelikan permen.

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang