"Kenapa Leo bilang kalau kau sudah meninggal, Harry?"
Kepala Harry bergerak, sedikit menurun ke bawah sehingga berada tepat di depan daun telingaku, tangannya yang dingin membelai rambutku sebentar, bermain-main mesra sebelum menautkan sejumput rambutku ke belakang telinga.
Demi Tuhan, aku semakin takut.
"Aku masih disini," ia berbisik lirih, menjulurkan lidahnya sehingga menyentuh daun telingaku, sontak aku membeku. "Buktinya, kau bisa merasakan sentuhanku."
Tubuhku terbakar, sentuhan lidah Harry mampu menyengat seluruh sistem syarafku dan melumpuhkannya seketika. Semakin membeku, ketika bibir Harry mulai mengecup daun telingaku, bahkan mengemutnya dengan cara yang paling memabukkan.
Sial, hampir saja aku melolongkan eranganku karena tingkahnya.
"Hentikan," aku berujar, pelan namun tersirat nada ketegasan didalamnya.
Lidah Harry yang sedang membelai daun telingaku seketika terhenti, ia menatapku sejenak dari samping, lalu mulai menjauhkan kepalanya dari telingaku. Netra hijaunya menatapku tajam, matanya jelas menyiratkan napsu yang menggebu-gebu, tatapan yang membakarku.
"Percayalah padaku," Harry menangkup wajahku, menariknya keatas agar aku menatap tubuhnya yang lebih tinggi. "Aku ini nyata. Tutup kedua telingamu, halau semua suara-suara disekitarmu. Yang perlu kau dengar hanyalah..., aku."
Aku menyela, menampik ucapannya, "Bagaimana bisa? Jelas-jelas kau itu berasal dari imajinasiku, aku yang menciptakan kehadiranmu! Kau laki-laki yang berasal dari dunia gelapku, bahkan dunia yang tidak terjamah oleh tanganku sendiri. Kau tidak nyata, Harry, kau hanya bayangan semu, yang otakku anggap sebagai perwujudan manusia nyata. Kau sama sekali--mphh."
Harry membekap bibirku dengan bibirnya, mencumbuku dalam. Sensasi demi sensasi yang ditimbulkan Harry sungguh nyata aku rasakan, menggelitik segenap desiran darahku. Ya Tuhan, jika Harry tidak nyata, kenapa perasaan-perasaan yang mengalir dalam tubuhku ini terasa sangat nyata dan hidup?
Bagaimana bisa tubuhku terangsang oleh bayangan yang kuciptakan sendiri?
Terlalu tidak masuk akal, bukan? Meski aku tahu, kehidupanku dari dulu juga sudah tidak masuk akal, abstrak.
"Apakah yang kau ucapkan barusan adalah ungkapan hatimu yang sejujurnya?" Harry berkata pelan, menekankan setiap suku katanya ketika bibir kami sudah tidak lagi berpangut satu sama lain.
Tidak.
"Iya,"
Harry mendelik, "Aku butuh jawaban yang jujur, Lea." lalu menyeringai miring. "Kau tidak bisa membohongiku, asal kau mau tahu."
Baiklah, aku menyerah.
"Itu pernyataan yang Leo katakan padaku sewaktu aku terbangun dari tidurku." jawabku pada akhirnya.
Jawabanku memang benar adanya, kok. Aku tidak pernah menganggap Harry sebagai makhluk imajinasiku, terlepas dari sikap Natha yang tidak melihat Harry. Aku menganggap Harry nyata, sangat nyata, sama seperti aku menganggap manusia pada umumnya.
Hanya Leo yang mengatakan bahwa Harry tidak nyata, berasal dari dunia imajinasiku, makhluk bayangan, dan masih banyak lagi. Mampu membuatku sempat merasa kebimbangan yang luar biasa hebatnya.
"Lalu kau memercayainya?"
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak memiliki jawaban yang tepat, melainkan jawaban itu akan membuatku semakin tersuruk ke lubang kebimbangan.
"Leandra, dengarkan aku baik-baik," Harry kembali menangkup wajahku, mengunci pandanganku agar tetap terfokus pada netra hijaunya yang sungguh memikat dan mempesona. "Disekelilingmu, banyak orang yang ingin menjatuhkanmu, kau tidak bisa memercayai mereka begitu saja, mereka bertopeng, Lea. Sikap mereka sangat ular, dan jikalau saja kau sudah terlena dengan sikap mereka--nyawamu akan terancam. Mereka akan membunuhmu, membuang mayatmu ke danau ataupun laut agar tidak meninggalkan bekas yang akan membahayakan mereka nantinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
OH Skizofrenia
FanfictionTidak ada yang tahu apa yang akan terjadi lima menit ke depan di kehidupan kita, terlalu banyak rahasia-rahasia yang terpendam, kejutan-kejutan kecil yang membingungkan serta ledakan-ledakan yang menyakitkan. Sama halnya denganku, sang gadis satu ji...