[2] Kill Yourself

7.1K 715 67
                                    

Setelah mengatakan serentetan kalimat yang mampu membuat semua keluargaku jantungan, bahkan kejang-kejang di tempat--uh, sebenarnya tidak separah itu. Aku hanya mendramatisir keadaan-- aku segera berlari keluar.

Meninggalkan mereka semua. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranku, maksudku--semua terjadi begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Suara-suara itu nyatanya masih tergiang-giang di pendengaranku, mengulang kalimat yang sama. Suara itu seolah musik klasik yang menyeramkan untuk di perdengarkan.

Kepalaku menoleh ke belakang, melihat Leo yang sedari tadi memanggilku dengan suara menyedihkannya yang menyuruhku untuk kembali ke rumah tanpa sedikitpun mengejarku. Seolah dia berpikir dengan dia meneriakki namaku terus-menerus akan membuatku kembali. Sayangnya, tentu saja tidak.

"LEANDRA KEMBALI!" sekiranya itulah yang kudengar dari Leo sebelum aku benar-benar keluar dari pekarangan rumahku.

Aku mau kemana?

Tidak tahu.

***

Aku terus berlari. Aku tidak tahu sudah sejauh mana aku berlari. Tapi yang jelas, betisku sudah mulai membengkak sepertinya. Keringatku juga menguncur deras. Membuat wajahku terlihat menyeramkan daripada sebelumnya. Dan wajahku memang menyeramkan disetiap saat.

Aku berhenti kala kakiku benar-benar sudah mencapai batas seharusnya. Napasku terengah hebat. Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru. Yang tanpa aku sadari, sekarang aku tengah berada di dalam hutan.

Hutan yang seingatku adalah hutan tempat Dad bekerja dulu sebelum jabatannya naik seperti sekarang. Dad dulu bekerja di bidang kehutanan yang aku lupa bekerja di bagian mananya. Dulu Dad sering membawaku kemari jika aku sedang bertengkar kecil dengan Leo.

Dan ayolah, mari lupakan tentang pekerjaan Dad. Sekarang aku harus mencari cara untuk membunuh suara itu--lebih tepatnya, membunuh diriku sendiri.
Bulu kudukku meremang seketika kala menyadari sebentar lagi aku akan membunuh diriku sendiri. Aku bergidik ngeri. Tapi tetap mencari alat yang bisa membuatku mati.

Pandanganku jatuh pada akar pohon yang menjalar di sekitarku. Dengan ide yang tidak ada indahnya sama sekali, aku menarik akar-akar pohon agar terlepas dari tanah tempat ia berasal. Setelah sekiranya cukup, aku melilitnya di ujung, membentuk lingkaran yang pas dengan ukuran kepalaku. Lalu menyambungkan akar yang lain sebagai tali diatasnya.

Aku tersenyum cerah melihat hasil keterampilanku yang entah kenapa begitu menakjubkan di pandanganku.

"Bagus, Lea. Sekarang gantunglah tali dari akar itu pada batang pohon yang berada di sebelahmu."

Suara itu kembali. Aku mendengus kesal. Suara itu tidak berhenti-berhentinya memerintahku. Layaknya aku adalah budak yang paling menderita yang harus menuruti kemauannya dan jika tidak, maka lenyaplah aku. Ya walaupun sebentar lagi aku akan lenyap juga.

Sesuai perintah suara itu, aku berusaha menyangkutkan tali ini pada batang pohon. Namun batang itu terlalu tinggi untuk kuraih. Meski aku sudah berloncat-loncat seperti kingkong kesurupan sekalipun.

Berpikir, berpikir...

Aku menjernihkan pikiranku sejenak, mencoba mencari benda apa yang bisa ku gunakan untuk melancarkan aksi bunuh diriku sendiri. Katakan aku psikopath yang bodoh karena menghabisi diriku sendiri.

Pandanganku menangkap sebuah kursi reot yang keadaannya jauh dari kata baik. Namun aku tetap menggunakannya. Aku menaiki kursi reot itu sehingga menimbulkan suara cicitan yang tidak indah sama sekali untuk didengar.

Aku memasukkan kepalaku pada pola lingkaran yang kubuat dari akar tadi.
Air mataku menggenang kala menyadari hidupku sudah diujung tanduk banteng.

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang