[14] Kesalahan di Masa Lalu

2.8K 323 25
                                    

Aku melangkahkan kaki masuk, seketika bau darah bercampur obat-obatan menusuk indra penciumanku. Tidak apa, aku sudah biasa mencium bau ini. Bertepatan dengan pintu yang tertutup, tubuh Lea berguncang hebat. Secara tiba-tiba.

Dokter beserta kerabatnya segera mengambil tindakan, melakukan apapun agar dapat mengembalikan kondisi Lea yang tiba-tiba saja drop. Garis-garis yang ada di layar merendah.

Tubuhku membeku. Tidak bersuara. Tidak bergerak. Seperti syaraf-syarafku melumpuh secara tiba-tiba.

"Ada luka dalam yang serius," dokter itu berseru, sebagian suster sibuk mengatur selang infus beserta kantong darah untuk asupan Lea. "Kita harus melakukan operasi secepatnya!"

Kesadaranku kembali. Sadar kalau para dokter dan suster itu menunggu jawaban dariku. "Lakukan! Lakukan yang terbaik untuknya!" aku kalap.

Mereka mengangguk cepat. Lea segera dipindahkan ke ruangan operasi. Ada cedera yang cukup serius di kaki kanannya, berkemungkinan patah. Itu yang aku dengar dari dokter itu.

Lampu yang terpasang di luar bagian atas ruangan operasi menyala. Artinya operasi akan dilaksanakan. Sementara aku tidak bisa melakukan apapun selama operasi berlangsung. Aku tidak diijinkan masuk kali ini. Gemuruh di dadaku semakin pekat. Aku tidak bisa duduk diam bersama Leo saja, sementara Lea di dalam sana sedang menjalankan operasi. Aku cemas. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Shit.

"Kau seharusnya tidak usah kembali. Kau sudah mati bersama kenangan Lea di masa lalu." Leo yang berjarak dua kursi dariku berbicara, memecahkan kekhusyukanku memohon pada Tuhan.

"Kau yang membuatku seolah-olah mati." aku mengoreksi. "Dan tolong, aku sedang tidak ingin berdebat denganmu kali ini, Leo. Di dalam sana Lea sedang menjalankan operasi."

"Persetan dengan operasi itu, Harry! Aku sudah kepalang muak!" Leo bangkit. Wajahnya memerah. "Kau menghancurkan semuanya, Harry. Kedatanganmu benar-benar kacau."

Aku tergelak rendah. "Dengar, jika kau ingin membalaskan dendam-mu kepada Kakakku, Natha, melalui aku--maka cukup kau siksa saja aku. Aku tidak akan melawan. Tidak perlu melibatkan Lea dalam masalah ini."

Leo kembali duduk, napasnya memburu, rahangnya berkedut-kedut menahan emosi. Aku tahu rencananya berantakan. Sejak Lea yang kabur dari rumah dan tinggal bersamaku. Lelaki itu takut aku membocorkan semuanya, dan ia kehilangan segalanya. Dia pemain yang pandai tetapi tidak cukup licik untuk berpikir.

Lelaki itu mendengus, mendelik tajam kearahku. "Kau pikir dengan aku menyiksamu, aku akan mendapatkan apa, heh? Tidak ada. Aku tidak akan kaya hanya dengan menyiksamu, bung. Aku tetap miskin. Melarat. Tidak ada gadis yang mau mendekatiku dan gadis-gadis pemuja uang di luar sana, juga akan meninggalkanku dengan alasan paling berengsek, yang pernah Kakakmu lakukan padaku!"

"Tapi tidak harus dengan menjual Lea, berengsek!" aku menghantam dinding, meluapkan amarahku. Tanganku cedera. Dinding itu retak dengan panjang tujuh senti meter. "Apa yang ada di otakmu, heh!? Sampai-sampai kau ingin menjual adikmu sendiri demi kekayaan!?" menggebu-gebu. Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri.

Koridor itu lengang sejenak.

Leo membuang muka, enggan bersitatap denganku.

"Kau bukan siapa-siapanya. Tolong kau ingat baik-baik itu. Jadi, jangan mencampuri urusan keluargaku sampai sejauh ini. Kau hanya lelaki yang cintanya tidak dibalas oleh adikku, paham?" Leo berkata dengan tenang, meski bibirnya bergetar menahan emosi yang juga menggebu-gebu.

Aku mengganguk. Mengiyakan. "Ya. Aku Cuma lelaki yang cintanya tidak dibalas oleh adikmu, dan aku akan menjadi satu-satunya lelaki yang akan melindunginya dari kebejatan kakaknya sendiri." tangan Leo mengepal kuat. "Melindunginya darimu yang gila harta. Kau ingin harta, ingin para gadis melihatmu, oke. Jika kau sudah memiliki harta, para gadis sudah mendekat--maka, kau kehilangan gadis yang menemanimu disaat-saat terpurukmu. Kau kehilangannya, adikmu. Bodoh.

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang