[15] Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia

2.6K 293 6
                                    

"Mom,"

Yang dipanggil menoleh—dalam jangka waktu yang panjang, untuk kali pertama, mataku berserobok dengan netranya. Mom. Astaga, sudah berapa lama aku tidak melihatmu, kenapa tubuhmu menyusut drastis seperti itu?

Apa kau tidak bahagia?

Mom tersenyum, membuat pecah-pecah dibibirnya semakin kentara. "Akhirnya kau bangun juga,"

Suaranya serak. Terlalu ngilu untuk diperdengarkan kepadaku. Sebenarnya apa yang terjadi selama aku tidak ada di rumah?

"Aku juga tidak tahu kenapa aku bangun, aku sama sekali tidak menginginkannya, Mom." aku menjawab lugas, sedikit terbata-bata karena tenggorokanku terasa kering.

Entah jawabanku yang terlalu miris, atau dirinya sudah kepalang kalut—sebab aku melihat setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ia beringsut ke arahku, menggengam tanganku. Aku merasa telapak tangannya semakin kasar, dan juga ringkih.

Air matanya jatuh lagi. "Jangan berbicara seperti itu," katanya. "Aku bisa gila kalau kau benar-benar tidak akan bangun."

Aku mendengus jengah. Mencari topik lain. "Kenapa Mom bisa ada disini?"

"Leo meneleponku, dia bilang kau kambuh lagi," matanya semakin redup, dan suaranya bertambah berat. "Sayang, aku minta maaf karena tidak ada disaat-saat tersulitmu."

Bullshit.

Aku tidak butuh kata maaf, sebenarnya. Mereka mengatakan maaf dan menyesal setelah melihatku terkapar di rumah sakit dan nyaris kehilangan kaki kananku. Ya, aku tahu, kaki kananku mengalami cedera parah sehingga diberi gips dan harus menggunakan kursi roda sementara waktu.

Aku tidak shock mendengarnya, kejadian yang lebih mengerikan dari kaki yang patah sudah pernah aku alami. Jadi aku tidak begitu terguncang, ketika Harry mengatakannya, kemarin malam, ketika aku sadar setelah operasi di laksanakan.

"Mana Dad?" tanyaku, lagi-lagi tidak menggubris ucapan Mom.

Kalau aku menggubris ucapannnya, sudah dipastikan suasana akan berubah melankolis dan aku sangat tidak suka. Aku sudah mengeluarkan air mata yang banyak semasa hidupku, aku tidak mau membuangnya secara cuma-cuma lagi.

"Aku tidak tahu dimana," jawabnya, setelah hening yang berkepanjangan. "Kau tahu Leo ikut-ikutan kabur dari rumah?"

Aku mengangguk. Sebelah tanganku menyentuh pundaknya, ia terisak hebat, seolah bebannya bertambah berat. Seolah ia tidak sanggup untuk memberitahuku, meski pada dasarnya aku berhak tahu.

"Apa kau tahu alasannya?"

Aku menggeleng.

"Rael di PHK," jawabnya. Jantungku nyaris melorot ke bawah saking terkejutnya. "Kita jatuh miskin, Leandra. Kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Rumah kita telah disita karena utang Ayahmu yang tidak bisa ia lunasi. Leo kabur dari rumah karena tidak bisa menerima kenyataan ini,

Dan kau diusir oleh keparat itu karena mengidap penyakit yang katanya berbahaya. Dan aku, ikut melarikan diri dari situasi ini. Aku tidak sanggup untuk bersamanya lagi, Leandra. Aku tidak tahan diburu oleh orang-orang asing, yang terus menagih uang bahkan tidak segan-segan menyakitiku maupun Dad."

Salah satu tanganku yang bebas, kugunakan untuk membekap bibirku sendiri. Mencegah tangisanku yang bisa meledak kapan saja. Dadaku sesak. Rasanya ironis sekali, keluarga yang dulunya harmonis kini sudah tercerai-berai, hancur-lebur.

Semua sibuk menyelamatkan diri sendiri, tanpa ada yang berinisiatif untuk kembali berkumpul, sekadar mencari cara keluar dari permasalahan ini secara bersama-sama. Menyelamatkan semuanya. Bukan hanya diri sendiri.

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang