Aku diperbolehkan pulang. Setelah tiga hari mendekam di dalam ruangan serba putih yang meracuni indra penciumanku dengan bau obat-obatannya. Sebenarnya, kalau menurut prosedur, aku boleh dipulangkan empat hari lagi. Tentunya tanpa ada paksaan, aku tidak bisa keluar seperti sekarang ini.
Sekarang Harry sedang mendorong kursi rodaku, asing juga menduduki kursi ini dan berjalan tanpa menggunakan kedua kakiku. Terlebih setiap malam kaki kananku terasa sangat gatal sehingga sering kali aku mengaduh, sampai ingin merobek kulit kakiku dan melepaskan gips sialan itu.
"Kita tunggu sebentar taksinya, oke?" suara Harry membuyarkan lamunanku.
Sedikit menoleh padanya yang berada dibelakangku, pun aku berkata. "Kau tidak membawa mobil?"
Harry menggeleng. "Kau tahu sendiri, aku ke rumah sakit berlari waktu itu. Dan aku sama sekali belum pulang ke rumah untuk menjemput mobil."
Mendengarnya, pun aku tertawa. Benar jika Harry berlari menuju rumah sakit. Awalnya, lelaki itu memang membawa mobil, hanya saja ditengah jalan, ia bertemu dengan lampu merah yang menunjukkan angka seratus dua puluh sembilan.
Dan dengan ide gilanya, Harry meninggalkan mobilnya begitu saja dan melanjutkan perjalanan dengan berlari. Harry berlari seperti orang kesetanan, tidak peduli berapa kilometer yang ia tempuh demi menemuiku. Sekiranya begitulah yang Harry ceritakan padaku. Hal itu tanpa sadar membuat senyumku terukir lebih lebar, dadaku menghangat.
Aku mencibir. "Benar. Dan kau juga belum mandi selama tiga hari ini."
"Itu karena aku tidak sempat membawa baju dan tidak ada waktu untuk mengambil baju."
"Alasan," tukasku. "Syukur-syukur aku tidak mati karena mencium busuknya badanmu."
Harry, yang sepertinya tidak terima—kontan menbalikkan posisi kursi rodaku, ia sedikit berjongkok agar menyamai tinggiku dengannya. Ia memandangiku lekat, dengan seringaian kecilnya.
Sial, karena aku bereaksi diam tidak berkutik. Jantungku berdegub-degub hebat.
"Hai, Girl," katanya. "Kau tidak akan mati hanya karena mencium aroma tubuhku yang katamu itu bau."
Aku menelan ludah susah payah. Sebenarnya apa yang terjadi pada anggota tubuhku, kenapa semuanya mati rasa ketika Harry menatapku sebegitu lekatnya? Hei-hei, kemana jiwa pemberontakku, dulu?
Harry menyentil dahiku dua kali, lalu tersenyum. "Lagipula kita sebentar lagi akan pulang. Dan di rumah nanti, kau harus menyiapkan air panas untuk aku mandi. Bagaimana?"
Aku masih diam. Lidahku mendadak kelu.
"Kan kau sendiri yang bilang, tubuhku bau. Jadi kau harus menyiapkan seluruh kebutuhanku agar tubuhku tidak lagi bau," Harry memberi jeda, seringainya semakin melebar. "Atau mungkin, kau juga harus membersihkan tubuhku nanti."
Mendadak aku tersedak ludahku sendiri. Seandainya tubuhku tidak mati rasa seperti ini, sudah pasti aku akan menendang wajah mesumnya.
"Bagaimana, kau bersedia?" Harry mengedipkan sebelah matanya padaku.
Tuhan, ada apa ini. Kenapa seluruh tindakan Harry sangat berpengaruh besar pada kinerja jantung dan aliran darahku?
Harry tersenyum nakal, lalu mengerling padaku. "Diammu berarti iya."
"Tidak!!!" seruku cepat, lantang, dan menggelegar. Harry sampai harus menjauhkan wajahnya beberapa senti ke belakang. "Aku ... tidak ... mau." sambungku terbata-bata.
Harry mengendihkan bahunya seraya bangkit. "Apa? Kau tidak sabar melakukannya? Baiklah, sayang, baiklah. Kita akan segera pulang."
Wajahku kontan memerah, malu bercampur marah. Rasanya ingin menghabisi lelaki itu sekarang juga, kalau aku tidak mengingat kondisi yang kini sedang duduk di atas kursi roda.
KAMU SEDANG MEMBACA
OH Skizofrenia
FanfictionTidak ada yang tahu apa yang akan terjadi lima menit ke depan di kehidupan kita, terlalu banyak rahasia-rahasia yang terpendam, kejutan-kejutan kecil yang membingungkan serta ledakan-ledakan yang menyakitkan. Sama halnya denganku, sang gadis satu ji...