[12] Aku yang Lain

2.8K 325 33
                                    

Aku sudah sadar.

Tapi terlalu takut untuk membuka mata. Aku takut suara itu datang lagi ketika kelopak mataku terbuka.

"Ya, bodoh, segera kirimkan bus, atau taksi, atau apapun itu kesini." suara itu menyentak, tidak sabaran. "Aku sedang di restaurant biasa, iya, iya, disitu. Lakukanlah sekarang, Niall!"

Aku kenal suara itu. Tapi terlalu takut untuk membuka mata, sekadar memastikan. Atau mungkin, suara itu hanya halusinasiku? Sebab, aku merasa tubuhku tidak menapak tanah, melayang-layang diudara, dan hebatnya, tidak terjatuh.

"Jangan banyak bertanya! Lakukan saja apa yang kuperintahkan, aku tidak ingin terjadi sesuatu pada gadisku." imbuhnya, semakin tidak sabaran.

Itu nyata. Suara itu begitu nyata dipendengaranku. Pun detak jantung yang kurasakan--yang tanganku rasakan. Tanganku seperti menempel pada sesuatu, lembut, seperti baju, dan dibalik sesuatu yang lembut itu, ada detak jantung yang menghantam telapak tanganku.

"Kau sudah sadar?"

Eh?

Serta-merta aku membuka mata, begitu cepat, tanpa berpikir terlebih dahulu. Refleksku bekerja lebih cepat, rupanya.

Tepat ketika mataku terbuka lebar, aku dihadapkan dengan sepasang mata berwarna hijau, sedang menatapku dengan bingung sekaligus khawatir. Aku terpaku, tentu saja. Untuk sepersekian detik ke depan, aku, maupun Harry masih berkutat dengan posisi seperti ini.

"Aku senang bisa menatap netra matamu, lebih cepat. Kau sadar lebih cepat dari yang kuprediksikan." katanya, tanpa memutuskan kontak mata diantara kami.

Aku, aku bisa melihat sorotan matanya berubah dengan cepat, tidak ada kekhawatiran lagi disana, melainkan kelegaan. Pun bibirnya, yang tadi kaku, kini menjelma seulas senyum.

Ternyata aku belum mati.

"Maaf," bibirku melontarkan itu. Kedua alis Harry mengkerut mendengarnya. "Karena telah mengacaukan semuanya."

Kedua alisnya melemas, tidak lagi bertaut seperti semula. Seolah tahu benar kemana pembicaraan ini mengarah.

"Kau tidak salah." katanya.

"Tapi aku merasa salah," tukasku. "Aku menghancurkan makan malam kita, bahkan sebelum pesanannya datang."

Harry terlihat mengembuskan napas beratnya, menambah kekuatan tangannya untuk menumpu bobot tubuhku. Omong-omong, posisiku saat ini sedang ada di dalam gendongan Harry.

"Itu tidak masalah. Yang penting kau baik-baik saja. Omong-omong apa kau masih lapar? Kalau iya--"

Aku menangkap sesuatu. Harry sedang mengubah topik pembicaraan. Aku tahu. Karena  dia tidak mungkin menawarkan makanan untukku, jelas-jelas aku baru saja mengalami hal buruk, yang tentu saja berdampak pada nafsu makanku.

"Aku mendengar suara itu lagi." tanpa mempedulikannya, aku tetap bertahan pada topikku. "Semuanya berawal dari situ."

Harry mengangguk, "Aku tahu."

"Dan aku bertemu Natha," imbuhku. "Dia yang memancingku sehingga suara-suara itu hadir, mendukung perbuatannya."

Aku bersumpah, tangan Harry sempat menegang ketika kalimat itu kuutarakan. Air wajahnya berubah tegang. Namun Harry terlalu pandai bermain ekspresi, sedetik kemudian, wajahnya berubah datar kembali.

"Natha," Harry bergumam, nyaris tidak terdengar. "Seharusnya Lea tetap bersamaku."

"Apa?" timpalku, sayup-sayup mendengar ia bergumam pelan.

Harry tersentak, lalu menggeleng. "Dia tidak melukaimu, 'kan?"

"Dia tidak melukai fisikku." jawabku. "Tapi mentalku."

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang