[10] Harry POV

3.5K 370 53
                                    

"Sampai kapan kau mengatakan kalau aku sudah mati?" tepat ketika Leo keluar dari kamar, aku berseru. "Aku masih hidup kalau kau lupa."

Leo membuang muka, lalu berdecak. Sama sekali enggan untuk berkomunikasi denganku.

Ah, lelaki itu masih sama. Masih menaruh dendam akan masa lalu.

"Tapi sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkanmu mencelakai Lea." ujarku. "Tidak akan pernah."

"Oh," Leo bergumam. "Kau pikir begitu? Kau lupa kalau aku adalah Kakaknya, tentu saja dia akan berpihak padaku nanti, Styles."

"Kau iblis," aku mengoreksi ucapannya. "Lihat saja nanti, dan jangan salahkan aku jika dia lebih berpihak padaku."

Leo tidak membalas, memilih pergi setelah menghentakkan kaki, sebagai peringatan untuk diriku. Tapi itu tidak cukup berarti untuk membuatku mundur. Aku akan tetap berdiri pada tujuan awalku, tujuan yang membawaku kembali kesini, menemuinya, dan berusaha berdamai dengan masa lalu yang cukup menyakitkan.

Gadis yang berada di dalam kamar itu, sedang dalam bahaya. Aku tidak mungkin membiarkan lelaki semacam Leo untuk menyakitinya, tidak sekalipun gadis itu telah menyakitiku di masa lalu.

Aku tahu hidup semakin menyulitkannya. Dan aku kembali untuk mempermudah semuanya.

"Kau sudah bangun," aku menyapanya yang sedang menatapku. "Sudah merasa lebih baik?"

Dia menggeleng. "Aku justru semakin buruk setelah bangun tidur tadi."

"Kau mengalami mimpi buruk?"

"Entahlah," dia menatapku jengah, seolah menyiratkan bahwa ia lelah dengan teka-teki yang ada di hidupnya dan aku cukup paham dengan perasaannya. "Yang jelas itu cukup mengerikan untuk disebut sebagai mimpi."

Aku masih menunggunya berbicara, karena aku tahu ia ingin menceritakan sesuatu padaku.

"Ada orang-orang asing di mimpiku, aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, tapi mereka menyebut nama-nama Valt." netra itu menatapku lekat. "Kau tahu siapa itu Valt?"

Jelas aku tahu siapa Valt. Lelaki sociopath, yang mengandalkan segala kekuasaannya untuk mendapatkan apa yang ia mau. Lelaki yang telah menghabiskan hidupku dengan telak, dan kali ini aku tidak akan tinggal diam jika dia ingin menghabiskan hidup gadis yang kucintai, lagi.

"Tidak," maafkan aku, aku harus berbohong untuk sementara waktu. "Lanjutkan ceritamu."

"Ya seperti itu, dan Leo juga mengatakan kalau kau sudah mati dibunuh Valt." kedua mata besarnya menyipit. "Kau ini nyata atau dimensiku saja, sih?"

Ah, Leo. Ternyata lelaki pecundang itu mengikut-sertakan Valt demi menutupi identitasku yang sesungguhnya. Tapi ada satu kalimat yang menarik perhatianku, sekaligus mencekik dadaku; Lea (masih) meragukan keberadaanku.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meyakinkannya, seberapa kuatpun aku meyakinkan, dia tetap saja akan meragui kehadiranku pada akhirnya. Iya, aku tidak menyalahkannya, aku paham dengan kondisinya sebagai Skizofrenia.

Tapi yang aku tidak paham itu Leo, dia meracuni otak adiknya sendiri demi dendamnya pada diriku. Dan bodohnya, mengizinkan Lea untuk tinggal bersamaku.

Kadang aku tidak mengerti isi otak udangnya itu. Dia semakin menyulitkan Lea.

Atau... mungkin itu adalah taktik barunya!?

"Seratus kalipun kau bertanya pertanyaan yang sama," ujarku. "Seribu kalipun aku menjawab dengan jawaban yang sama."

"Jadi kau nyata?"

OH SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang