Langit mendung. Malam semakin pekat. Sama sekali tidak ada cahaya di langit, para bintangpun enggan untuk menampakan diri. Seolah pasrah awan kelabu itu menutupi sinarnya. Tapi aku tidak peduli!
Mau mendung, hujan, badai, aku tetap harus pergi. Selain untuk mencari Dad–aku merasa, tekad kepergianku ini juga beralasan untuk menghindari Harry. Lebih tepatnya menghindari perasaan aneh ini–dan juga luka.
Sehebat apapun dia dalam menjagaku, tetap saja, pada akhirnya, dia berpotensi untuk menyakitiku. Lebih besar, malah. Dan hanya lewat suara, ia sudah menghancurkan hatiku.
Aku menyeka air mata, tidak ingin memikirkannya lebih banyak. Aku tidak mau dikukung sesak yang semakin hebat.
Kursi rodaku terus berjalan, menapaki jalanan aspal, yang tidak terlalu dipadati oleh kendaraan. Hanya kendaraan umum yang mendominan.
"Kau melamun, lagi," katanya.
"Dan kau mengacaukannya."
Ia tertawa. "Ya, seperti biasa." tawanya selalu menjadi favoritku, meski tidak pernah kukatakan padanya. "Oh, ya, ada yang ingin kubicarakan padamu, Lea."
Aku mencibir, seraya meraih remot televisi yang semula tergeletak menggenaskan di atas perutku. "Itu kau sedang bicara."
"Oh, iya," dia tertawa lagi. "Tapi, aku mau bicara lagi."
"Iya, bicara saja."
Harry menyandarkan kepalanya pada sisian sofa, menangadah menatap langit-langit rumah. Lalu menutup kedua matanya, sesaat. "Tidak, ah, nanti saja."
Lalu aku tertawa. Dan Harry juga. Aku tidak tahu kenapa aku tertawa, yang jelas, kelakuan Harry itu menggemaskan dimataku. Ditambah puppy eyes-nya.
"Meski tidak semua orang bisa dibahagiakan, aku selalu berusaha, bukan kaulah yang bersedih, Lea."
Itu mendadak. Setelah hening yang berkepanjangan, Harry berucap seperti itu. Suaranya serak, dan ada ketegasan di dalamnya. Dadaku dibanjiri rasa hangat.
"Jangan bersedih, lagi." imbuhnya.
Aku mengusap ujung mataku yang berair lalu tertawa, terdengar dipaksakan. "Tidak janji."
Dan, malam itu, yang tidak kuduga-duga—Harry menciumi kedua kelopak mataku, bergantian. Seraya bergumam, "Jangan bersedih, lagi."
Aku kelabakan. Desiran darahku melaju, bahkan aku bisa mendengarkan detak jantungku sendiri dengan telingaku. Terlalu menggebu-gebu. Tidak bisa dihentikan. Bahkan ketika ciuman itu telah berlalu dua puluh menit lamanya.
...
Memberontak.
Aku memberontak. Menyentak diriku ke dunia nyata seraya mencabik bajuku sendiri. Sesekali memukul kepalaku, rasa nyeri langsung menyerbu. Seharusnya ingatan itu tidak mengalir begitu saja dibenakku, seharusnya tidak!
"Pergilah dari pikiranku!!" aku berteriak, entah pada siapa, kurasa pada otakku.
Ingatan akan Harry semakin membludak membanjiri benakku. Dimulai dari, percakapan beberapa hari lalu, di rumah sakit, ketika aku termenung, memikirkan nasib keluargaku, dan Harry datang. Lalu ciuman itu terlaksana. Hingga berakhir pada ingatan pertengkaranku dengan dirinya, lima belas menit yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OH Skizofrenia
FanfictionTidak ada yang tahu apa yang akan terjadi lima menit ke depan di kehidupan kita, terlalu banyak rahasia-rahasia yang terpendam, kejutan-kejutan kecil yang membingungkan serta ledakan-ledakan yang menyakitkan. Sama halnya denganku, sang gadis satu ji...