Empat

35.1K 1.1K 9
                                    

"Sialan, gue malah gak boleh bimbingan kalau gak ada teori," sungut Sava kesal bukm main.

Setelah bertemu dengan Afkari dengan niat bimbingan, Sava langsung menuju sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa, sedangkan Cantika pamit untuk ke perpustakaan. Tujuan Sava ke sekretariat UKM-nya, untuk mencetak teori proposalnya untuk diberikan kepada Afkari. Selain itu, gadis berusia dua puluh dua tahun itu sama sekali tak memiliki printer dan tak memiliki uang lebih untuk mencetak di tempat fotocopy.

"Bu Pimred, dari tadi ngomel-ngomel," tegur Azka—ketua umum Lembaga Pers Mahasiswa.

"Lo baru semester lima otw semester enam, jadi gak tahu rasanya jadi mahasiswa akhir kayak gue," balas Sava kesal.

Gadis itu melempar flashdisknya di meja agak kasar, kemudian mendudukkan dirinya. Mata gadis itu tertuju pada layar komputer di depannya yang kini menampilkan daftar nama narasumber untuk majalah kampus mereka.

Tangannya bergerak mengambil mouse, menggulirkan halaman daftar nama-nama narasumber.

"Pak Rektor gak dimasukkan?"

"Pak Warek satu sama dua aja, udah mencakup juga, 'kan?"

Sava manggut-manggut mendengarnya, kemudian membaca kembali nama-nama yang ada di daftar tersebut.

"Tim wartawan gimana? Siang nanti rapat, 'kan? Kasih tahu ke mereka datang lima belas menit sebelum rapat dimulai, ini dapat penting, mereka harus datang."

Azka mengangguk mendengarnya, kemudian mengambil ponsel untuk menginfokan di grup. Tim wartawan bagi Sava merupakan garda terpenting dan proses pembuatan majalah kampus, mereka harus tahu apa saja yang akan dilakukan dalam proses penerbitan majalah kampus nanti. Sava kini telah sibuk dengan teori judulnya, dia akan mencetak hari ini juga dan akan menyetornya besok.

"Bu Pimred, gue agak khawatir dengan empat orang tim wartawan yang jarang hadir di rapat," ungkap Azka seraya menunjukkan pada Sava isi pesan di grup lembaga mereka.

Dari tujuh orang tim wartawan yang ditunjuk, hanya tiga orang yang bisa hadir pada rapat kali ini, selebihnya izin dengan berbagai alasan. Sava menghela napasnya kesal, dia juga tak bisa memaksa mereka untuk lebih memfokuskan diri pada lembaga, sementara mereka juga memiliki urusan yang menurut Sava sangat penting.

"Mungkin emang lagi sibuk aja," balas Sava mencoba untuk berpikir positif, walau sebenarnya dia juga merasa khawatir. Hal ini malah membuat Sava khawatir salah memilih tim wartawan.

"Tapi ini bukan cuma sekali."

"Datang rapatnya bisa dihitung jari selama kita persiapan penerbitan majalah. Awal pembentukan tim redaksi berkoar-koar bakal jadi wartawan yang gesit. Lah ini, yang nyariin narasumber malah tim layout sama editor, padahal itu tugas mereka," tutur Azka yang tentunya sudah sangat kesal.

Menjadi pimpinan redaksi membuat Sava memiliki tanggung jawab besar, apalagi ini proyek besar pertama lembaga mereka. Mereka tak bisa bersantai atau main-main dalam hal seperti ini.

"Bu Pimred perlu tegas ke mereka. Bu Pimred harus ingat, kalau majalah ini bakal kita ikutkan lomba majalah antara kampus."

***

Oh, sialan! Perkataan Azka tadi terus terngiang-ngiang di benak Sava. Bahkan saat rapat tengah berlangsung, Sava terus terngiang-ngiang.

"Selanjutnya mungkin pimpinan redaksi kita ada yang mau ditambahkan, saya persilakan." Moderator memberikan kesempatan untuk berbicara kepada Sava setelah pembina , membuat Sava seketika menegakkan tubuhnya.

"Baik, seperti yang kita ketahui, bahwa dua bulan lagi kita bakal menerbitkan majalah kampus pertama kita. Saya harap semuanya dapat bekerja sama dan diingat tugasnya masing-masing. Bagi tim wartawan dimohon untuk lebih aktif lagi, narasumber sudah ada, tinggal nanti diinfokan lagi jadwal wawancaranya. Adapun yang diwawancarai ini sekitar enam puluh narasumber, jadi wartawan sebagai garda terpenting dalam pembuatan majalah ini, dimohon kerjasamanya," tutur Sava dengan mata melihat satu per satu pada anggota lembaga.

Choice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang