"Tuh dosen pengen gue cabein mulutnya," gerutu Sava membuat ketiga temannya mencibir.
"Lo udah sering bilang kayak gitu," ucap Adriana.
Pasalnya, bukan hanya sekali dua kali saja Sava menggerutu seperti itu. Ketiga temannya Sava juga tahu siapa yang dosen yang dimaksud itu, yang tak lain adalah Afkari. Dosen pembimbing Sava itu memang agak galak dari cerita Sava setiap kali bimbingan.
"Kali ini kenapa lagi?" tanya Fahri.
Sava seketika memasang wajah cemberutnya, dia menatap proposal skripsinya dengan tatapan sendu. Sedih rasanya melihat proposal skripsinya dicoret dengan coretan besar oleh dosen pembimbing, belum lagi dibilang proposalnya acak-acakan, terutama pada bagian paragraf. Sava sudah capek-capek revisi, duduk di depan laptop mengetik proposal seharian penuh, tapi malah mendapatkan coretan besar. Seharusnya ditegur saja, atau dia buat catatan di sisi kanan ataupun kiri proposalnya, bukan malah dicoret tanda silang besar.
"Gak menghargai banget perjuangan gue, mentang-mentang dosen. Harusnya tahu gimana gue revisi sampai mampus gara-gara dia," sungut Sava.
Tangan gadis itu memukul meja hingga menimbulkan suara cukup keras dan beberapa pasang mata melihat pada mereka. Tentunya itu malah membuat ketiga teman Sava malu, bahkan Fahri sampai menutup wajahnya.
"Kalau malu-maluin kayak gini bukan temen gue," ucap Fahri dibalas anggukan kepala dari Adriana dan Cantika membenarkan.
"Tuh dosen maunya apa sih?" lanjut Sava lagi bersungut.
Mendengar itu, Cantika meringis pelan. Ini kalau tak ada yang menghentikan Sava, yang ada sampai sore Sava akan mengomel tak jelas.
"Udah, emang kenapa sih? Revisi lagi? Sini gue bantuin," kata Cantika menawarkan jasa.
Memang di antara mereka berempat, Cantika yang paling cerdas. Bukan berarti mereka bodoh, mereka hanya perlu dijelaskan lebih detail baru akan mengerti, selain itu, dalam hidup kata bodoh itu tak ada, hanya saja kurang diasah.
"Gue emang butuh banget bantuan lo. Dua manusia di depan gue ini, gak akan mau bantuin. Apalagi bang Fahri."
"Eh, gue diam ya dari tadi," protes Fahri tak terima namanya disebut.
Mata satu-satunya pria di circle pertemanan mereka menatap Sava tajam, tetapi tak berlangsung lama saat melihat jaket yang melekat di tubuh Sava. Fahri belum pernah melihat Sava memakai jaket itu, jaket berwarna navi polos. Selain itu, jaket yang Sava pakai terlihat kebesaran, bagian lengannya saja Sava gulung.
"Jaket lo bagus," tegur Fahri seketika membuat Sava gelagapan.
Gadis itu lupa kalau dia masih memakai jaket Afkari, secepatnya Sava melepaskan jaket tersebut, melipatnya rapi lalu menyimpan di tas agar tak membuat teman-temannya bertanya.
"Jaketnya Nava," kata Sava berbohong. Kalau dia mengatakan jaket yang dia pakai adalah jaket Afkari, yang ada ketiga temannya ini hanya akan mengejeknya dan tak akan berhenti. Sava mengenal baik mereka bertiga.
"Keren banget jaketnya Nava, kelihatan kayak mahal. Dia beli di mana?" tanya Fahri lagi membuat Sava melotot pada pria itu.
"Udah, ah. Mending lo bertiga bantuin gue revisi," pungkas Sava mengalihkan pembicaraan.
Dia juga langsung membuka laptop Adriana yang dia pinjaman untuk revisi, bersyukur Sava membawa flashdisk, jadi dia bisa memperbaiki proposal skripsinya di kampus. Cantika juga membantu gadis itu, merapikan paragraf agar sejajar dengan judul bagian sesuai dengan hasil bimbingan Sava pagi tadi.
***
Adriana memukul pundak Sava berkali-kali, membuat Sava berdecak kesal dan menatap Adriana kesal. Saat ini keduanya tengah menunggu Cantika bimbingan di ruang dosen.
"Apaan sih?"
"Va, coba lihat orang yang baru keluar dari ruang dosen," kata Adriana bersemangat semangat.
"Sebelas dua belas dengan pak Afkari itu," imbuh Adriana sontak membuat Sava seketika melihat pada pintu masuk ruang dosen.
Mata gadis itu melotot saat melihat pria tersebut, Sava seketika berdiri. Pria itu sahabat Afkari, yang paling dekat dengan Afkari dan yang paling tahu soal hubungan mereka. Namun untuk bertemu dengan Hiro, Sava masih tak siap, takut apabila Hiro bertanya banyak hal padanya dan berujung dia yang keceplosan. Kalau sama Afkari, Sava masih bisa mengatasi, beda lagi kalau sama Hiro, tak akan berhenti bertanya sampai dia mendapatkan jawaban yang memuaskan.
"Sava?"
Panggilan dari orang yang ingin Sava hindari membuatnya seketika menghentikan langkahnya. Mata gadis itu terpejam, merutuki banyak kesialan yang dia alami semenjak Afkari menjadi dosen pembimbingnya. Gadis yang baru saja niat menghindar itu menoleh ke belakang, lalu tersenyum paksa pada Hiro. Kenapa juga dia dan Adriana menunggu Cantika di depan ruang dosen?
"Mas Hiro? Apa kabar, Mas?"
Berbasa-basi adalah satu-satunya cara agar Hiro tak sadar kalau Sava menghindarinya.
"Kok aku gak lihat, ya?" lanjut Sava.
Hiro tersenyum kecil, lalu menghampiri Sava. "Kabar saya baik, kamu sendiri?"
"Alhamdulillah baik, Mas."
"Gimana kuliahnya?"
"Baik juga, Mas, cuma sekarang lagi sibuk sama proposal," jawab Sava. Oh, kalau seperti ini, pasti bakal lama.
"Kamu kelihatannya masih sendiri. Masih belum move on dari Afka?"
Gadis itu menggaruk tengkuknya, tersenyum kecil tak tahu harus menjawab apa. Dia melirik pada Adriana meminta Adriana untuk membantunya, tetapi Adriana malah diam dan tak peduli. Oke, Sava harus memikirkan banyak jawab apabila Hiro bertanya lebih banyak dari sekarang.
"Gak juga, Mas. Aku lagi mau fokus sama kuliah dulu," jawab Sava.
Hiro manggut-manggut mengerti, dia juga baru ingat alasan Sava membatalkan pernikahannya dengan Afkari karena ingin fokus pada kuliah dan mengejar karir. Afkari sempat bercerita tentang alasan Sava padanya. Pria itu menoleh ke belakang, melihat pada pintu ruang dosen, lalu kembali melihat pada Sava.
"Eh, iya, saya lupa. Minggu depan saya depan saya mau nikah, datang ya," ujar Hiro menyodorkan undangan berwarna merah maroon dengan tulisan berwarna emas.
"Wah selamat, Mas. Aku usahain datang," kata Sava.
Matanya berbinar melihat undangan tersebut. Bisa dibilang, undangan dengan warna merah maroon dengan tulisan berwarna emas, merupakan undangan pernikahan yang Sava impikan. Dulu juga Sava dan Afkari sempat memilih desain seperti ini saat persiapan pernikahan mereka.
"Yuk, gue udah selesai bimbingan."
Seketika Hiro menoleh saat mendengar suara gadis di belakangnya, Hiro menatap gadis itu cukup lama, hal itu membuat Cantika tak nyaman.
"Kalian ...." Hiro menjeda perkataannya saat melihat Afkari baru saja keluar dari ruang dosen, kemudian dia melihat Sava dan Cantika secara bergantian.
"Kalian berdua saling kenal?" lanjut Hiro.
Pria itu memundurkan tubuhnya, hingga sejajar dengan Cantika. Tangannya mengepal erat, matanya menatap Cantika tajam, sementara orang yang ditatap cuma diam memasang wajah datarnya.
"Iya. Mas Hiro kenal sama Cantika?" jawab Sava dibarengi dengan pertanyaan.
"Sedikit, kebetulan dia itu cukup dekat sama teman saya," jawab Hiro lalu pamit menghampiri Afkari.
Sedangkan Sava, bernapas lega karena Hiro kini pergi bersama Afkari. Namun beda lagi dengan Cantika yang sejak tadi tak bisa berkutik ketika melihat Hiro bersama Sava.
***
Halooo
Update lagi nih
Gimana sama part ini? Udah pada tahu tentang Cantika belum? Kan udah aku spill tipis-tipis 🤭
Jangan lupa tinggalkan jejak yah
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice (END)
RomanceSial bagi Sava Orlin setelah melihat lembar penetapan pembimbing skripsinya. Di sana tertulis nama sang mantan calon suaminya, membuat gadis itu akan kembali berurusan dengan Afkari, bukan karena mengurus pernikahan, tapi mengurus tugas akhirnya. Sa...