32. TANPA KAMU

253 19 6
                                    

Ruangan putih yang sunyi. Menciptakan suasana mencekam di dalamnya. Hanya dua remaja yang tengah sama-sama terlelap meraungi mimpi. Atlantik dan Kiara. Lelaki itu sejak semalam menginap di sini, bahkan tidak membiarkan Ganu, Kido maupun Grandy menggantikannya menemani Kiara.

Bulu mata lentik itu bergerak, kelopaknya membuka memperlihatkan bola mata coklat indah milik Kiara. Detik jarum jam terdengar. Ruangan terasa sunyi dengan napas Atlantik yang tenang. Tangan lemahnya bergerak menyentuh surai hitam milik tunangannya. Kiara tersenyum hangat diiringi air mata yang menetes dari pelupuk matanya.

Merasa ada suatu pergerakan di atas kepalanya Atlantik membuka kelopak matanya. Mengangkat kepala untuk melihat seseorang yang mengelus lembut rambutnya. Lelaki dengan mata hitam yang biasanya tajam itu memandang Kiara dengan tatapan sayu. Wajahnya lesu dan terlihat berantakan.

"Udah bangun?" tanya Atlantik sambil menegakkan badannya.

"Hem," jawab Kiara seadanya.

"Kenapa?" Atlantik mengusap air mata yang mengalir di pipi Kiara dengan hati-hati.

"Kangen mama." Kiara memejamkan matanya tak mampu menahan isak yang menyakitkan.

Kangen mama. Atlantik hanya tersenyum saat mendengarnya. Mungkin jika Atlantik tega seperti biasanya ia hanya akan menjawab dengan kata. 'Sama'. Karena melihat Kiara saat ini mengingatkannya pada mamanya di masa lalu. Menyedihkan.

Cowok itu menegakkan pundaknya. Lalu bergerak mendekat. Dalam hitungan detik bibir hangatnya mendarat pada telapak tangan dingin milik Kiara, membuat sang empu mengerjap kaget. Hanya beberapa saat kekagetan itu sebelum akhirnya Kiara tersenyum lembut sebagai balasan.

"Sama gue dulu ya," ucap Atlantik menenangkan Kiara. Cowok itu meletakkan kembali tangan tunangannya dan berjalan keluar hendak memanggil dokter.

Kiara menghela napasnya. Apa mamanya tidak mengangkat telfon lagi?

"Atlantik. Kamu udah coba telfon mama?"

"Udah."

Entahlah. Kiara merasa sikap manis mamanya saat bersama dengannya tidaklah palsu namun di sisi lain mamanya juga tidak ingin melihatnya. Pertunangannya bersama Atlantik adalah cara mamanya melespaskan Kiara dengan dititipkan kepada Atlantik selamanya.

"Maaf." Kata itu meluncur cepat bersama air mata.

Atlantik memutar bola matanya malas. "Nggak capek nangis terus?" tanya Atlantik datar.

"Lebih capek kalau nahan nangis terus," jawab Kiara seadanya.

"Mau peluk?" Atlantik mendekati Kiara dengan hati-hati.

Debaran jantung yang menggila seakan memanaskan hati yang hanya tersisa puing-puingnya. Dengan lembut tangan Atlantik melingkar pada pundak perempuan rapuh yang kini hanya bisa berbaring di dadanya.

Tak ada bedanya. Debaran jantung itu membuat darah Kiara terasa berdesir. Menikmati waktu-waktu yang mungkin tinggal beberapa saat lagi.

Atlantik. Atlantik. Atlantik. Sampai saat ini namamu bahkan seperti anugrah di hidupku.

"Lain waktu kita harus lebih bahagia." Kiara balas melingkarkan tangan rapuhnya di perut Atlantik.

"Ya. Harus."

"Atlantik. Aku mau tetap hidup." Kiara bergumam sebelum terlelap.

Atlantik diam. Merebahkan tubuh Kiara ke atas ranjangnya. Memperhatikan baik-baik setiap lekuk wajah kekasihnya. Ada guratan sedih yang menjalar ke dala hatinya. Atlantik bertanya, bagaimana jika perempuan ini tiba-tiba menghilang dari hidupnya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cold AtlantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang