⊚ 6 ⊚

105 29 2
                                    

Baru saja lapangan ramai oleh latihan anak-anak basket yang sibuk berebut untuk mendribble bola, kini suasana sepinya praktis mengantarkan kedamaian. Hanya semilir angin bertiup, dibingkai rona jingga kemerahan oleh mentari senja.

"Ji, sedang apa?"

"Taehyung! Sejak kapan dia di sini? Kau sendirian? Namjoon mana? Bukannya tadi keluar bareng?"

"Kalau ditanya jawab dulu. Kenapa balik tanya, sih?!"

"Aku cuma cari angin, di dalam gerah sekali rasanya."

"Beres-beresnya sudah siap?"

"Belum, anak-anak masih di dalam ruangan." Tiba-tiba Taehyung menggamit erat tangannya.

"Ayo, aku temani!" Dan keduanya berjalan menuju markas klub dengan saling bergandengan tangan.

"Oh iya, aku hampir lupa. Ini! Bawa ke rumahmu, ya." Seketika raut Jimin berubah bingung usai sebuah paper bag diberikan kepadanya.

"Ini apa, Taehyung?"

"Dicek dulu mangkanya, masa dipelototi doang."

Lalu, dahi Jimin berkerut dalam begitu mengetahui apa isi kantung kertas tersebut. "Pakaian kotor?! Kok aku yang bawa pulang?! Taruh saja di markas, digabungkan sama punya semua anggota. Itu bakalan diantar ke penatu, kok."

"Aku tahu, tapi mulai sekarang tidak lagi. Khusus bajuku, kau harus mencucinya di rumah. Jangan menolak!"

"Tapi 'kan ..."

"Cuma perlengkapan basket apa susahnya sih Ji?! Anggap saja sedang latihan."

"Latihan apa?" Bibir Jimin sampai maju ke depan, persis paruh bebek saking sebalnya dia kepada Taehyung.

"Latihan menjadi is--wanita idaman maksudku."

"Paling mau simbiosis mutualisme, mentang-mentang aku dibonceng pulang setiap hari." Mukanya kian tertekuk masam, tanpa tahu bahwa Taehyung tengah cengengesan di sisinya.

"Tolong bibirnya diajarkan hal-hal yang benar, Nona. Tidak baik manyun-manyun begitu di depan pemuda tampan, minta dicium?!" Sekon berikutnya Jimin tercengang seakan bola matanya bisa terlepas keluar. Terkadang, Taehyung bisa kurang ajar bercandanya. "Anak ayamku, cuci dengan tangan ya. Pakai mesin bisa cepat molor kainnya." Jimin mendongak perlahan-lahan saat Taehyung mengeratkan genggaman mereka, muncul perasaan membuncah seolah ada gerombolan semut berkeliling di dadanya.

-----

Jangka semua tugas-tugasnya selesai, Jimin pun bergegas mengunci pintu markas. Dia menghampiri Taehyung yang sejak tadi menunggunya sambil bersandar pada dinding di koridor.

"Cape, ya?" tanya si pemuda seraya menyelipkan tangan-tangannya ke saku celana.

"Tumben jadi perhatian."

"Aku serius." Dia mengambil ransel di pundak Jimin untuk dia angkut sendiri.

"Tasku berat, loh."

"Lihat! Aku menyandangnya dengan mudah, masih bisa satu lagi semisal ada." Datang embusan rendah di pernapasan si gadis bersenyum manis. "Kalau tidak kuat, sebaiknya berhenti saja. Aku tahu mengurus klub basket itu rumit. Belum lagi pas kita kedapatan tugas menumpuk dari guru-guru." Jimin tetap bergeming seraya memampangkan ekspresi seriusnya. "Mending kalau pekerjaan ini menguntungkan dan bermanfaat untukmu. Kalau aku ya pasti sudah cari yang lain."

"Ada?"

"Ada, mau tahu tidak?" Jimin menatap intens manik sehitam arang milik Taehyung sebelum dia mengangguk ragu-ragu di situ.

"Mengurusku selama 24 jam penuh, berminat tidak?"

"Taehyung! Bisa-bisanya aku hampir percaya. Dasar alien! Menyebalkan!" Kepalang malu mendorong langkah Jimin agar buru-buru menjauh.

"Ji, tunggu! Masa begitu saja langsung marah. Jiji sayang, anak ayam manisku ... aduh, gawat kalau dia betulan merajuk."

Semenjak Jimin pindah dari rumah lamanya. Dia tidak pernah lagi berjalan kaki. Jarak kampus dengan rumahnya yang baru lumayan jauh. Berkisar tiga puluh menit jika ditempuh dengan bus dan dua puluh menit bila menaiki motor. Taehyung yang mengetahui perihal ini pun menawarkan dirinya untuk mengantar jemput dia ke sekolah.

Berakhirnya adegan susul menyusul tadi, keduanya sudah berdiri di tempat parkir. Namun, Taehyung kukuh mendesak Jimin dengan pertanyaannya semula, "Sebenarnya apa yang membuatmu mau menjadi manajer di klub basket?"

"Mungkin karena aku suka menonton basket, apalagi saat pemandu soraknya beraksi. Rasanya menyenangkan melihat mereka menari-nari sambil berteriak di lapangan."

"Kukira karena ingin melihatku terus," lirih terbilang hanya untuk didengar sendiri. "Ayo, naik! Pegangan yang kuat, ya." Begitu lengan-lengan Jimin melingkar penuh di pinggangnya, senyum kebahagiaan sarat rasa bangga menghiasi paras tampan Kim Taehyung.


.....

(END) Lowkey in Love with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang