Rumah berubah layaknya tempat pembawa sengsara, hingga Jimin enggan berada di sana. Kesedihan kembali menyapa sudut hati, mengambil semangat di jiwa. Kini dia memandang datar pada gedung minimalis di depan mata. Kediaman dua pemuda Kim terlihat begitu sunyi, benar-benar kosong seperti perasaannya saat ini. Dia melangkah pelan seraya meremas kain yang menutupi dada, merunduk dan terisak-isak. Bahunya bergetar.
Telapak kirinya terbuka, memperlihatkan sebuah kalung perak dengan liontin kristal berwarna hijau. Sebuah kalung yang harusnya dia berikan kepada Taehyung atas kemenangan mereka pada pertandingan basket bulan lalu. Air matanya jatuh membasahi liontin, meratapi niat berujung luruh bersama kepedihan.
"Ji, kamu perlu sesuatu?" Sekarang jantungnya berdegup kencang, masih tersadar dan yakin mendengar suara si pemuda Kim ataukah ini sekadar asa yang diharapkan benaknya? "Ji, aku baru saja bertanya." Tidak, itu memang suaranya, suara Kim Taehyung si pemuda jahil penghuni hati. "Jimin--" Lalu, Jimin mendadak bingung mengenai tangisnya yang tak jua hendak berhenti. Ragu-ragu berbalik badan, dia hela sepanjang-panjangnya udara guna melegakan sesak di rongga dada dan sejemang Taehyung kontan dilingkupi kecemasan. "Kenapa, Ji? Sakit perutmu kambuh lagi?" Hanya mampu menggeleng-geleng, sedang Taehyung nyaris putus asa saking paniknya dia. "Jangan bikin aku takut, Ji!" Kedua pundak si gadis diremas, tak sabar menuntut jawaban.
"Kupikir tidak akan bertemu lagi. Aku belum memberimu hadiah dan ucapan selamat. Tapi, kamu memutuskan pertemanan kita. Jadi, apa yang harus kulakukan dengan kalung ini?" Taehyung meringis setiap kali perkataan tadi diiringi isakan.
"Untukku?" tanyanya lagi, memastikan ucapan Jimin semula. Dalam hati memuji pemberian sederhana si gadis ketika pandangnya berbinar akibat tertarik pada kalung berliontin kristal tersebut. "Kamu pintar cari hadiahnya."
"Cuma itu yang bisa aku beli. Hijau warna favorit kamu 'kan? Dan kristal itu melambangkan kamu, selalu bersinar."
"Hadiah paling bagus yang pernah aku terima. Aku suka sekali, Ji." Si gadis spontan menengadah, lagi berkaca-kaca sebab terharu mendengar pujian itu.
"Sikapku membosankan, ya? Makanya kamu memutuskan pertemanan kita. Apa enggak bisa diperbaiki? Taehyung, kasih aku satu kesempatan."
"Maaf Ji, aku enggak bisa."
"Begitu, ya." Jimin mengepalkan seluruh jemarinya, merelakan ulang rasa frustrasi turun membasahi pipi.
"Terus-terusan berteman, aku bakal tersiksa seumur hidup. Kamu mengerti 'kan?"
"Baiklah, aku tidak bisa memaksa kalau itu sudah pilihan kamu. Mungkin enggak bisa dalam waktu singkat, tapi bakal aku coba buat melupakan pertemanan kita."
"Ji, semisal kamu tetap meminta agar aku selamanya menjadi temanmu, itu percuma! Aku menginginkan hubungan yang kuat. Apa selama ini kamu memang enggak paham atau pura-pura?" Jimin mendongak lekas, menemukan raut sama putus asa. Bahkan keningnya berkerut, mencoba mencerna makna dibalik pernyataan Taehyung. "Aku suka kamu, aku sayang, aku cinta, Ji. Aku mau kamu buat aku--ya, aku tahu ini berlebihan. Tapi, aku telanjur membayangkan untuk bisa terus bareng kamu dan bukan sebagai teman. Tapi, seseorang yang kamu butuhkan. Jadi, tolong, tolong banget berhentilah menganggap aku cuma sebagai teman terbaikmu. Aku enggak bisa mengharapkan apa-apa dari hubungan itu, Ji. Bagaimana jika suatu hari nanti ada yang mengungkapkan cinta ke kamu? Aku harus apa? Aku enggak mungkin melepas kamu, itu enggak ada dalam pikiran aku."
"Lisa?"
"Astaga! Taehyung mengesah, memijit keningnya sambil menatap gemas ke bawah. "Untuk yang terakhir kalinya, katakan bentuk perasaan kamu buat aku. Sampai kapan kamu mau terus mengingkarinya, Ji?! Sampai aku benaran pulang ke Daegu dan enggak balik-balik lagi, begitu?!"
"Tidak! Taehyung, jangan lakukan itu! Aku pikir Lisa lebih pantas sama kamu."
"Aku yang tahu Ji, bukan soal pantas atau enggak. Ini menyangkut perasaan murni, bukan main-main. Apa karena kita masih sekolah, jadi kamu menyepelekan hati aku?!" Meski bimbang, Jimin mengayun langkah kecil untuk mendekat dan memeluknya.
"Maaf, aku benaran minta maaf. Aku takut perasaanku dikalahkan oleh takdir. Untuk apa aku mengakuinya kalau itu tetap juga menimbulkan perpisahan?! Kamu tahu keadaan aku, aku bukan gadis seperti Lisa yang istimewa. Aku ini cuma--"
"Sst! Sudah, aku enggak mau dengar yang lainnya. Cukup aku tahu bahwa kamu punya perasaan serupa seperti aku."
"Aku sayang kamu, sayang sekali. Aku sudah terbiasa sama kamu, Tae. Aku takut dan bingung jika tiba-tiba kamu pergi buat orang lain." Nada yang parau dan berat di telinga, meski segala penuturannya mampu mengembangkan sudut-sudut di bibir Kim Taehyung.
"Butuh usaha sangat keras, ya untuk tahu isi hati kamu. Kamu berhasil bikin aku stres karena memikirkan kamu, Ji. Aku sayang kamu banget. Janji sama aku jangan ada lagi yang kamu sembunyikan!" Jimin mengangguk lamban sebelum satu kecupan turun di puncak kepalanya usai lengan-lengan panjang mengeratkan dekapan di antara mereka. "Ayo, masuk! Ini suhunya makin dingin, nanti kamu sakit."
Petang menghilang, malam perlahan datang seiring butiran salju yang mulai berjatuhan. Dua hati telah bertaut, siap menyambut suasana baru di musim dingin yang panjang.
T.A.M.A.T
Halo...
Kita sudah di ujung cerita, ya. Sampai jumpa lagi di cerita ongoing lainnya. Semoga kisah mereka dapat menghibur dan berkesan buat kalian. ;))

KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Lowkey in Love with You
Novela JuvenilJimin dan Taehyung berada di tengah-tengah ikatan rumit yang disebut 'teman'. Si pemuda punya kebiasaan mengusili dan si gadis tidak merasa keberatan hari-harinya dipenuhi kejahilan. Lambat-laun ikatan tersebut menguat tanpa disadari, sejoli remaja...