⊚ 20 ⊚

88 26 0
                                    

Sudah lima belas menit Taehyung menunggu di balik pintu laboratorium komputer. Pasalnya, letak ruangan itu tak jauh dari kelas mereka. Dia berasumsi jika tempat tersebut adalah tempat yang paling pas untuk dia dan Jimin membicarakan permasalahan atau kesalahpahaman yang terjadi atau juga tidak benar-benar terjadi. Tetap saja semua wajib dituntaskan sebelum bertambah panas, hingga merenggangkan pertemanan mereka.

Taehyung membuang kasar napasnya. Dia berdecak, kesal ketika belum ada juga tanda-tanda kedatangan oleh Jimin. Sedari awal dia memperhatikan satu-persatu mahasiswa yang lewat, dari celah pintu yang tidak ditutup rapat. Mondar-mandir gelisah, Taehyung juga mengacak-acak rambutnya akibat tak lagi sabar. Bunyi derap langkah membuat dia gelagapan dan kembali mengintip dari celah pintu. "Lisa?!" serunya pelan dan bergegas mundur ke dalam. Takut bila keberadaannya justru ketahuan gadis itu. "Kok belum nongol-nongol?" Si pemuda Kim hampir saja putus asa menunggu. Baru dia hendak membuka pintunya, tapi bunyi kaki yang terdengar lebih tenang membuat Taehyung mengurungkan niat. Dia memantau dari celah sempit dan langsung menyergap Jimin, menariknya ke dalam, kemudian memalang pintu dengan tubuhnya.

"Taehyung!" Jimin berseru kaget. Dia mengusap-usap lengannya yang terasa sakit, akibat genggaman kuat dari tangan pemuda itu. "Kenapa kamu membawaku ke sini?"

"Yakin kamu masih punya hak buat tanya aku? Mentang-mentang aku diam, terus kamu pikir bisa seenaknya? Bilang sekarang, aku ada salah apa sama kamu? Enggak usah main kucing-kucingan deh! Aku cape, Ji. Sikap kamu aneh sejak di pertandingan." Taehyung mencecar Jimin secara kilat, mengungkap semua beban yang menjadi penyebab kepalanya seakan mau pecah akhir-akhir ini.

"Aku enggak paham sama kamu. Siapa yang main kucing-kucingan? Aku enggak berbuat apa-apa dan kamu mau menyalahkan aku untuk masalah yang aku enggak tahu?!" Hanya alibi, tentu Jimin sangat memahami tujuan di balik ucapan tersebut. Namun, membicarakannya barangkali tak membawa dampak apa-apa. Dia merasa segalanya selesai sejak Namjoon bercerita. Ditambah pengakuan Lisa usai pertandingan basket tempo hari, menguatkan keputusan Jimin untuk menjauhkan diri dengan luka yang berangsur-angsur menyakiti.

Lisa sempat mengumumkan sesuatu, yang bagi Jimin merupakan bentuk peringatan halus secara terang-terangan. Walau dengan bahasa tersamarkan, tetap saja tak menutupi maksud yang tersirat dalam kalimatnya. Jimin, aku sudah lama mengenal Taehyung. Hubungan kami sangat dekat. Ibu Taehyung dan ibuku juga merencanakan perjodohan kami dan itulah alasan utamaku menyusul dia ke Seoul. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi sebagai teman baiknya aku percaya kamu pasti mau mengerti. Aku juga sahabatmu 'kan? Perkataan Lisa berputar ulang di kepala, menusuk ke dalam dada di mana dia menyimpan rahasianya di sana. Sejenak kelopak mata Jimin terpejam, meyakinkan isi pikirannya yang kini terus memaksa keluar, "Kamu enggak salah. Satu-satunya kesalahan adalah jika kita masih berdekatan. Jadi, aku benar-benar minta tolong banget sama kamu ... daripada aku risi, mending kita tetap berjauhan seperti ini." Efek buruknya tiada bisa dicegah. Taehyung mengernyit tak senang, kontan melongo dengan mata berkaca-kaca.

Bersambung...

(END) Lowkey in Love with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang